TUGAS
BIOETIK
DAN MEDICOLOGI
PERBEDAAN SUMPAH HIPOKRATES, DOKTER
DAN HUKUM
Dosen
pengampu : Prof. Dr. Agnes Widanti, SH,CN

DISUSUN
OLEH :
TIAZH
OKTAVIANI 17.C2.0020
PROGRAM PASCA
SARJANA HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK
SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2018
Perbedaan Sumpah Hipokrates, Dokter
Dan Hukum
Oleh : Tiazh Oktaviani
NIM : C2.17.0020
Hipokrates atau Hippocrates adalah seorang dokter yang
berasal dari Yunani Kuno zaman Yunani Klasik, dan dianggap salah satu tokoh
yang paling menonjol di sejarah kedokteran. Ia disebut sebagai Father of Western Medicine atau Bapak Kedokteran Barat, sebagai
pengakuan atas kontribusi abadi untuk bidangnya dan juga sebagai pendiri Hippocrates School of Medicine.
Sekolah intelektual ini membuat revolusi ilmu kedokteran di Yunani kuno ,
menetapkan disiplin yang berbeda dari bidang lain yang secara tradisional
dikaitkan terutama dengan sihir dan filsafat, sehingga membentuk kedokteran
sebagai sebuah profesi.
Hipokrates lahir di pulau Cos di
Laut Aegean tahun 460 BC. Ayahnya bernama Heraclides juga seorang dokter dan
menjadi gurunya yang pertama. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa dan
kakeknya juga seorang dokter dengan nama sama yaitu Hippocrates. Setelah orang
tuanya meninggal Hipokrates pergi ke Athena. Oleh Plato dikatakan bahwa selama
di Athena, Hipokrates mengajar mahasiswa yang mempelajari ilmu kedokteran
dengan memungut biaya.
Akhirmya setelah menginjakkan
kakinya di seluruh Yunani dan Macedonia, Hipokrates menutup usia
pada tahun 370 BC. Hipokrates dimakamkan di Larissa yang berada Thessaly. Oleh Aristoteles disebutkan bahwa beberapa
tahun setelah kematiannya, Hipokrates mendapat gelar “The Great Hippocrates”
atau Hipokrates Yang Agung .
Namun Hippocrates hidup
sekitar tahun 460-377 sebelum masehi. Banyak yang mengaitkan beliau dengan
Asclepiad, sebuah kelompok penyembuh pada masa itu. Nama Asclepiad berasal dari
Asclepius, Dewa Penyembuh yang juga disebut kakek buyut Hippocrates. Telah
banyak tulisan kedokteran yang dikaitkan dengan Hippocrates. Lebih dari 60
tulisan yang disebut sebagai Corpus Hippocrates disebut
sebagai karya Hippocrates. Masih kontroversial, dikarenakan tulisan-tulisan ini
ditulis sekitar 510-300 sebelum masehi, maka tidak semua tulisan ini ditulis
Hippocrates. Penamaan Sumpah Hippocrates itu sendiri masih banyak
dipertanyakan, meskipun dari pihak yang berwenang atas sejarah kedokteran
menyatakan, sumpah itu ditulis selama abad keempat sebelum masehi.
Di tengah situasi
kontroversial, pandangan Galen cukup memberikan pencerahan. Galen adalah
penyembuh Yunani terkenal dan terakhir. Beliau menguasai anatomi, fisiologi,
neurologi, farmakologi, dan patologi. Dalam pendidikan Kedokteran, beliau
mengacu pada para pendahulunya dari Yunani Kuno. Beliau menyadari adanya
keraguan tentang Corpus Hippocrates. Beliau memastikan salah satu tulisan ini, De
Natura Hominis (The Nature Of Man) memang bukan ditulis
Hippocrates, melainkan Polybus. Namun kepastian ini justru menguatkan
Hippocrates. Karena polybus adalah menantu Hippocrates. Polybus bahkan mewarisi
tugas Hippocrates dalam mendidik para penyembuh muda. Fakta yang paling penting
adalah tidak sedikit pun Polybus mengubah doktrin Hippocrates dalam tulisannya.
Meskipun mungkin tulisan tersebut tidak ditulis langsung oleh Hippocrates,
namun mewakili pandangan dan opini beliau. Terkait dengan Hippocratic Oath,
apakah ditulis langsung atau tidak oleh Hippocrates tetapi isi sumpah itu
merefleksikan pandangan Hippocrates terhadap etikamedis.
Ditahun 2015 yang lalu,
media massa ramai memberitakan putusan Mahkamah Agung yang menghukum dr. Dewa
Ayu Sasiary Prawarni, SpOG, 10 bulan penjara. Sebelumnya dr. Dewa Ayu didakwa
Jaksa Penuntut Umum atas tindak pidana yang diatur Pasal 359 KUHP dan Pasal 361
KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, namun oleh Pengadilan Negeri
Manado divonis bebas. Atas putusan PN Manado tersebut kemudian Jaksa Penuntut
Umum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung
menuai kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya kalangan dokter. Kelompok
yang kontra dengan putusan tersebut menuding majelis hakim tingkat kasasi Mahkamah
Agung tidak mengerti hukum dan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Tak cukup di
situ, kelompok yang kontra juga menyerukan para dokter untuk melakukan mogok
kerja sebagai bentuk protes atas putusan Mahkamah Agung tersebut. Di tengah
usaha menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Penulis secara pribadi menyayangkan komentar negatif terhadap putusan Mahkamah
Agung dan mengutuk seruan mogok kerja nasional para dokter. Jika kelompok
dokter yang kontra terhadap putusan menyatakan Majelis Hakim Kasasi tidak
mengerti hukum, maka bagi penulis, yang layak untuk disebut tidak mengerti
hukum adalah mereka itu sendiri.
Penulis yakin, Majelis
Hakim Kasasi tentu mengerti status tindakan seorang dokter yang membedah tubuh
pasien di ruang bedah berbeda dengan tindakan seorang bandit jalanan yang
menancapkan pisau ke tubuh seseorang. Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusan
tentu sudah mempertimbangkan banyak aspek, terutama aspek kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan. Dalam hukum dan praktik peradilan dikenal prinsip ius
curia novit yang artinya hakim dianggap tahu akan hukum atas perkara yang
diperiksa dan diadilinya. Kehadiran prinsip ius curia novit adalah reasonable
mengingat hukum berikut instrumen-instrumennya, termasuk pengadilan dan hukum
acara, dibangun untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di dalam
masyarakat dengan memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini
adalah konsekuensi dari dianutnya konsep negara hukum (rechtstaat).
Konstitusi Indonesia
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan menetapkan Mahkamah Agung
(bersama Mahkamah Konstitusi) sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Dengan
demikian, segenap warga negara Indonesia harus tunduk dan mengikuti konsep
negara hukum yang ditetapkan oleh kontitusi. Tudingan para dokter yang kontra
terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut mengesankan seolah mereka ingin
menyatakan para dokter adalah manusia-manusia yang tidak bisa disalahkan dan
mempunyai keistimewaan sendiri sehingga harus diperlakukan khusus. Termasuk
dalam hal ini diperlakukan khusus dari prinsip equality before the law yang
ditetapkan Konstitusi.
Kesalahan Kolektif
Seringkali kasus
terlambatnya penanganan pasien di rumah sakit bukan disebabkan oleh kesalahan
dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya, melainkan karena sistem administrasi
dan birokrasi maupun kebijakan rumah sakit. Sebagai contoh, dalam banyak
kejadian, pasien yang kritis tidak segera ditangani oleh sebab pihak rumah
sakit menunggu pihak keluarga atau pihak lain yang menjamin pembayaran biaya
kesehatan maupun biaya tindakan medis ataupun biaya lain yang, misalnya, harus
dibayar terlebih dahulu. Apalagi rumah sakit swasta yang lebih berorientasi
profit. Dalam situasi seperti itu, apabila pasien yang meninggal dunia oleh
karena tidak mendapatkan pelayanan ataupun tindakan medis dengan segera dari
pihak rumah sakit akibat dari hal-hal administratif yang belum dipenuhi, maka
seharusnya hukum mampu menjangkau pimpinan rumah sakit yang bersangkutan.
Setidaknya dapat dikatakan pimpinan rumah sakit telah menganjurkan pegawai dan
tenaga medis untuk berbuat jahat dengan tidak melakukan tindakan pertolongan
medis terhadap orang yang sangat membutuhkan. Apabila tindakan menelantarkan
pasien yang sedang kritis dan berakibat kematian adalah tindak pidana, maka
pimpinan rumah sakit seharusnya bisa dijerat dengan sangkaan/dakwaan turut
serta melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Namun bagaimanapun
terbangunnya sistem kebijakan administratif rumah sakit yang money oriented,
dokter tetap juga mempunyai kontribusi di samping kebijakan pemerintah yang
menempatkan pusat layanan kesehatan untuk mendulang pendapatan. Diakui atau
tidak, banyak dokter yang menerapkan tarif tertentu (yang berkali-kali lipat
dari upah minimum yang berlaku) untuk dapat menggunakan jasanya. Secara tidak
langsung dapat dikatakan dokter “membisniskan” ilmu dan keterampilannya.
Sehingga jika kemudian ada dokter yang dihukum pidana, maka seharusnya para
dokter ingat pepatah “high gain, high risk”dalam praktek investasi
bisnis.
Sumpah Hipokrates Terbelenggu Administrasi Kapitalistik
Pada suatu hari, di
Yunani 400 tahun sebelum Masehi, seorang dokter yang juga fisikawan, membuat
sumpah yang kemudian hari dicontoh semua kalangan profesi dokter, yaitu Sumpah
Hipokrates. Dalam sumpah yang dibuka dengan persaksian kepada Tuhan, Hipokrates
yang merupakan murid Herodikus berjanji akan menerapkan cara pengobatan untuk
kepentingan pasien sesuai dengan penilaian dan kemampuannya. Sumpah Hipokrates
tersebut kemudian menjadi dasar etik profesi dokter. Sumpah tersebut begitu
mulia, menempatkan kepentingan kemanusiaan sebagai tujuan utama praktik
kedokteran. Hal ini menjadi sangat rasional mengingat ilmu dan keterampilan
yang dimiliki seorang dokter adalah anugerah dari Sang Pencipta. Sehingga,
setiap orang yang diberi anugerah ilmu pengobatan tersebut mempunyai kewajiban
mengamalkan ilmunya untuk tujuan menolong sesamanya tanpa melihat status
sosial, ekonomi, agama, ras ataupun politik.
Namun faktanya, antara
cita-cita mulia yang ternanifestasikan dalam sumpah Hipokrates dengan kenyataan
adalah jauh panggang dari api. Banyak pasien rumah sakit yang dicuekin dan
terlantar akibat tidak membawa cukup uang administrasi yang ditetapkan oleh kebijakan
pimpinan rumah sakit yang bersangkutan. Praktik yang banyak dikeluhkan dan
dikritik banyak pihak, termasuk oleh Iwan Fals melalui lagu Ambulan Zig Zag
beberapa dekade lalu. Praktik layanan kesehatan yang kapitalistik, profit-oriented
dan diskriminatif ini dapat dikategorikan mempunyai sifat melawan hukum ketika
membawa akibat seseorang yang memerlukan tindakan medis segera menjadi
terabaikan. Sifat melawan hukum ini menjadi dasar dapat dimintainya
pertanggungjawaban pidana. Adanya kebijakan administrasi pimpinan rumah sakit
mengenai adanya pembayaran uang administrasi terlebih dahulu bukan alasan
pembenar maupun alasan pemaaf bagi dokter untuk tidak melakukan tindakan medis
terhadap pasien yang belum membayar uang administrasi. Alasannya sederhana,
dokter sebagai makhluk sosial yang berakal dan mempunyai perasaan, seharusnya
menggunakan akal, nurani, ilmu dan keterampilannya untuk membantu sesamanya
yang sedang membutuhkan pertolongan.
Dengan demikian, protes
dokter seharusnya diarahkan kepada segenap pemangku kekuasaan politik agar
mempunyai political will guna mewujudkan sistem layanan kesehatan yang
membuat dokter dapat melakukan tindakan medis tanpa terbelenggu urusan
administrasi yang ujung-ujungnya duit. Bukan malah mengamini dengan
bersikap diam saat pemerintah daerah berlomba-lomba menempatkan pusat layanan
kesehatan sebagai lumbung untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Dokter jangan ahistoris, hendaknya mencontoh sikap yang ditunjukkan oleh
senior-seniornya pada masa pergerakan kemerdekaan, yang bukan hanya mengobati
orang sakit, tapi juga “mengobati” sistem sosial di masyarakat. Semoga ke depan
kita semua bisa membangun sistem kesehatan yang lebih baik.
Demo dokter sebagai
aksi solidaritas penahanan dr Ayu dan rekan-rekannya di berbagai daerah dinilai
boleh-boleh saja. Asal, jangan sampai melupakan 'Sumpah Hipokrates' yang berisi
mengutamakan melayani kemanusiaan. Sumpah Hipokrates adalah sumpah yang secara
tradisional dilakukan oleh para dokter, tentang etika yang harus mereka lakukan
dalam melakukan praktik profesinya, semua pihak perlu melihat secara objektif
kasus hukum yang melibatkan dr Ayu tersebut. Yang perlu digarisbawahi adalah
tidak boleh seorang dokter sengaja menelantarkan pasien seperti yang diatur
dalam UU No 26 tahun 2009 tentang Kesehatan. "Tapi kalau seorang dokter
sudah melakukan secara legal dan akhirnya (pasien) meninggal, dan melakukan
dengan sebaik-baiknya, jangan dibegitukan,". Namun, adanya pasien yang
mengatasnamakan hukum jika dirugikan. Ditakutkan, tindakan profesionalisme
dokter terguncang atas tekanan tersebut. Dokter yang sudah berupaya maksimal
dalam memberi perawatan dan ada pasien yang meninggal tidak bisa dihukum.
MA menjatuhkan hukuman
10 bulan penjara untuk dr Dewa Ayu Sasiary, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy
Siagian. Ketiganya dianggap melakukan kelalaian saat menangani pasien bernama
Siska Makatey di Rumah Sakit Kandou Malalayang, Kota Manado,
Sulawesi Utara, pada 10 April 2010. Dokter Ayu dan
Hendry Simanjuntak telah ditahan di Rutan Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar