Minggu, 29 April 2018

PERBEDAAN SUMPAH HIPOKRATES, DOKTER DAN HUKUM


TUGAS
BIOETIK DAN MEDICOLOGI
PERBEDAAN SUMPAH HIPOKRATES, DOKTER DAN HUKUM
Dosen pengampu : Prof. Dr. Agnes Widanti, SH,CN








DISUSUN OLEH :
TIAZH OKTAVIANI                        17.C2.0020




PROGRAM PASCA SARJANA HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2018


Perbedaan Sumpah Hipokrates, Dokter Dan Hukum
Oleh    : Tiazh Oktaviani
NIM    : C2.17.0020

Hipokrates atau Hippocrates adalah seorang dokter yang berasal dari Yunani Kuno zaman Yunani Klasik, dan dianggap salah satu tokoh yang paling menonjol di sejarah kedokteran. Ia disebut sebagai Father of Western Medicine atau Bapak Kedokteran Barat, sebagai pengakuan atas kontribusi abadi untuk bidangnya dan juga sebagai pendiri Hippocrates School of Medicine. Sekolah intelektual ini membuat revolusi ilmu kedokteran di Yunani kuno , menetapkan disiplin yang berbeda dari bidang lain yang secara tradisional dikaitkan terutama dengan sihir dan filsafat, sehingga membentuk kedokteran sebagai sebuah profesi.
Hipokrates lahir di pulau Cos di Laut Aegean tahun 460 BC. Ayahnya bernama Heraclides juga seorang dokter dan menjadi gurunya yang pertama. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa dan kakeknya juga seorang dokter dengan nama sama yaitu Hippocrates. Setelah orang tuanya meninggal Hipokrates pergi ke Athena. Oleh Plato dikatakan bahwa selama di Athena, Hipokrates mengajar mahasiswa yang mempelajari ilmu kedokteran dengan memungut biaya.
Akhirmya setelah menginjakkan kakinya di seluruh Yunani dan Macedonia, Hipokrates menutup usia pada tahun 370 BC. Hipokrates dimakamkan di Larissa yang berada Thessaly. Oleh Aristoteles disebutkan bahwa beberapa tahun setelah kematiannya, Hipokrates mendapat gelar “The Great Hippocrates” atau Hipokrates Yang Agung .
Namun Hippocrates hidup sekitar tahun 460-377 sebelum masehi. Banyak yang mengaitkan beliau dengan Asclepiad, sebuah kelompok penyembuh pada masa itu. Nama Asclepiad berasal dari Asclepius, Dewa Penyembuh yang juga disebut kakek buyut Hippocrates. Telah banyak tulisan kedokteran yang dikaitkan dengan Hippocrates. Lebih dari 60 tulisan yang disebut sebagai Corpus Hippocrates disebut sebagai karya Hippocrates. Masih kontroversial, dikarenakan tulisan-tulisan ini ditulis sekitar 510-300 sebelum masehi, maka tidak semua tulisan ini ditulis Hippocrates. Penamaan Sumpah Hippocrates itu sendiri masih banyak dipertanyakan, meskipun dari pihak yang berwenang atas sejarah kedokteran menyatakan, sumpah itu ditulis selama abad keempat sebelum masehi.
Di tengah situasi kontroversial, pandangan Galen cukup memberikan pencerahan. Galen adalah penyembuh Yunani terkenal dan terakhir. Beliau menguasai anatomi, fisiologi, neurologi, farmakologi, dan patologi. Dalam pendidikan Kedokteran, beliau mengacu pada para pendahulunya dari Yunani Kuno. Beliau menyadari adanya keraguan tentang Corpus Hippocrates. Beliau memastikan salah satu tulisan ini, De Natura Hominis (The Nature Of Man) memang bukan ditulis Hippocrates, melainkan Polybus. Namun kepastian ini justru menguatkan Hippocrates. Karena polybus adalah menantu Hippocrates. Polybus bahkan mewarisi tugas Hippocrates dalam mendidik para penyembuh muda. Fakta yang paling penting adalah tidak sedikit pun Polybus mengubah doktrin Hippocrates dalam tulisannya. Meskipun mungkin tulisan tersebut tidak ditulis langsung oleh Hippocrates, namun mewakili pandangan dan opini beliau. Terkait dengan Hippocratic Oath, apakah ditulis langsung atau tidak oleh Hippocrates tetapi isi sumpah itu merefleksikan pandangan Hippocrates terhadap etikamedis.
Ditahun 2015 yang lalu, media massa ramai memberitakan putusan Mahkamah Agung yang menghukum dr. Dewa Ayu Sasiary Prawarni, SpOG, 10 bulan penjara. Sebelumnya dr. Dewa Ayu didakwa Jaksa Penuntut Umum atas tindak pidana yang diatur Pasal 359 KUHP dan Pasal 361 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, namun oleh Pengadilan Negeri Manado divonis bebas. Atas putusan PN Manado tersebut kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung menuai kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya kalangan dokter. Kelompok yang kontra dengan putusan tersebut menuding majelis hakim tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak mengerti hukum dan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Tak cukup di situ, kelompok yang kontra juga menyerukan para dokter untuk melakukan mogok kerja sebagai bentuk protes atas putusan Mahkamah Agung tersebut. Di tengah usaha menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Penulis secara pribadi menyayangkan komentar negatif terhadap putusan Mahkamah Agung dan mengutuk seruan mogok kerja nasional para dokter. Jika kelompok dokter yang kontra terhadap putusan menyatakan Majelis Hakim Kasasi tidak mengerti hukum, maka bagi penulis, yang layak untuk disebut tidak mengerti hukum adalah mereka itu sendiri.
Penulis yakin, Majelis Hakim Kasasi tentu mengerti status tindakan seorang dokter yang membedah tubuh pasien di ruang bedah berbeda dengan tindakan seorang bandit jalanan yang menancapkan pisau ke tubuh seseorang. Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusan tentu sudah mempertimbangkan banyak aspek, terutama aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Dalam hukum dan praktik peradilan dikenal prinsip ius curia novit yang artinya hakim dianggap tahu akan hukum atas perkara yang diperiksa dan diadilinya. Kehadiran prinsip ius curia novit adalah reasonable mengingat hukum berikut instrumen-instrumennya, termasuk pengadilan dan hukum acara, dibangun untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di dalam masyarakat dengan memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini adalah konsekuensi dari dianutnya konsep negara hukum (rechtstaat).
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan menetapkan Mahkamah Agung (bersama Mahkamah Konstitusi) sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, segenap warga negara Indonesia harus tunduk dan mengikuti konsep negara hukum yang ditetapkan oleh kontitusi. Tudingan para dokter yang kontra terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut mengesankan seolah mereka ingin menyatakan para dokter adalah manusia-manusia yang tidak bisa disalahkan dan mempunyai keistimewaan sendiri sehingga harus diperlakukan khusus. Termasuk dalam hal ini diperlakukan khusus dari prinsip equality before the law yang ditetapkan Konstitusi.
Kesalahan Kolektif
Seringkali kasus terlambatnya penanganan pasien di rumah sakit bukan disebabkan oleh kesalahan dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya, melainkan karena sistem administrasi dan birokrasi maupun kebijakan rumah sakit. Sebagai contoh, dalam banyak kejadian, pasien yang kritis tidak segera ditangani oleh sebab pihak rumah sakit menunggu pihak keluarga atau pihak lain yang menjamin pembayaran biaya kesehatan maupun biaya tindakan medis ataupun biaya lain yang, misalnya, harus dibayar terlebih dahulu. Apalagi rumah sakit swasta yang lebih berorientasi profit. Dalam situasi seperti itu, apabila pasien yang meninggal dunia oleh karena tidak mendapatkan pelayanan ataupun tindakan medis dengan segera dari pihak rumah sakit akibat dari hal-hal administratif yang belum dipenuhi, maka seharusnya hukum mampu menjangkau pimpinan rumah sakit yang bersangkutan. Setidaknya dapat dikatakan pimpinan rumah sakit telah menganjurkan pegawai dan tenaga medis untuk berbuat jahat dengan tidak melakukan tindakan pertolongan medis terhadap orang yang sangat membutuhkan. Apabila tindakan menelantarkan pasien yang sedang kritis dan berakibat kematian adalah tindak pidana, maka pimpinan rumah sakit seharusnya bisa dijerat dengan sangkaan/dakwaan turut serta melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Namun bagaimanapun terbangunnya sistem kebijakan administratif rumah sakit yang money oriented, dokter tetap juga mempunyai kontribusi di samping kebijakan pemerintah yang menempatkan pusat layanan kesehatan untuk mendulang pendapatan. Diakui atau tidak, banyak dokter yang menerapkan tarif tertentu (yang berkali-kali lipat dari upah minimum yang berlaku) untuk dapat menggunakan jasanya. Secara tidak langsung dapat dikatakan dokter “membisniskan” ilmu dan keterampilannya. Sehingga jika kemudian ada dokter yang dihukum pidana, maka seharusnya para dokter ingat pepatah “high gain, high risk”dalam praktek investasi bisnis.
Sumpah Hipokrates Terbelenggu Administrasi Kapitalistik
Pada suatu hari, di Yunani 400 tahun sebelum Masehi, seorang dokter yang juga fisikawan, membuat sumpah yang kemudian hari dicontoh semua kalangan profesi dokter, yaitu Sumpah Hipokrates. Dalam sumpah yang dibuka dengan persaksian kepada Tuhan, Hipokrates yang merupakan murid Herodikus berjanji akan menerapkan cara pengobatan untuk kepentingan pasien sesuai dengan penilaian dan kemampuannya. Sumpah Hipokrates tersebut kemudian menjadi dasar etik profesi dokter. Sumpah tersebut begitu mulia, menempatkan kepentingan kemanusiaan sebagai tujuan utama praktik kedokteran. Hal ini menjadi sangat rasional mengingat ilmu dan keterampilan yang dimiliki seorang dokter adalah anugerah dari Sang Pencipta. Sehingga, setiap orang yang diberi anugerah ilmu pengobatan tersebut mempunyai kewajiban mengamalkan ilmunya untuk tujuan menolong sesamanya tanpa melihat status sosial, ekonomi, agama, ras ataupun politik.
Namun faktanya, antara cita-cita mulia yang ternanifestasikan dalam sumpah Hipokrates dengan kenyataan adalah jauh panggang dari api. Banyak pasien rumah sakit yang dicuekin dan terlantar akibat tidak membawa cukup uang administrasi yang ditetapkan oleh kebijakan pimpinan rumah sakit yang bersangkutan. Praktik yang banyak dikeluhkan dan dikritik banyak pihak, termasuk oleh Iwan Fals melalui lagu Ambulan Zig Zag beberapa dekade lalu. Praktik layanan kesehatan yang kapitalistik, profit-oriented dan diskriminatif ini dapat dikategorikan mempunyai sifat melawan hukum ketika membawa akibat seseorang yang memerlukan tindakan medis segera menjadi terabaikan. Sifat melawan hukum ini menjadi dasar dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana. Adanya kebijakan administrasi pimpinan rumah sakit mengenai adanya pembayaran uang administrasi terlebih dahulu bukan alasan pembenar maupun alasan pemaaf bagi dokter untuk tidak melakukan tindakan medis terhadap pasien yang belum membayar uang administrasi. Alasannya sederhana, dokter sebagai makhluk sosial yang berakal dan mempunyai perasaan, seharusnya menggunakan akal, nurani, ilmu dan keterampilannya untuk membantu sesamanya yang sedang membutuhkan pertolongan.
Dengan demikian, protes dokter seharusnya diarahkan kepada segenap pemangku kekuasaan politik agar mempunyai political will guna mewujudkan sistem layanan kesehatan yang membuat dokter dapat melakukan tindakan medis tanpa terbelenggu urusan administrasi yang ujung-ujungnya duit. Bukan malah mengamini dengan bersikap diam saat pemerintah daerah berlomba-lomba menempatkan pusat layanan kesehatan sebagai lumbung untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dokter jangan ahistoris, hendaknya mencontoh sikap yang ditunjukkan oleh senior-seniornya pada masa pergerakan kemerdekaan, yang bukan hanya mengobati orang sakit, tapi juga “mengobati” sistem sosial di masyarakat. Semoga ke depan kita semua bisa membangun sistem kesehatan yang lebih baik.
Demo dokter sebagai aksi solidaritas penahanan dr Ayu dan rekan-rekannya di berbagai daerah dinilai boleh-boleh saja. Asal, jangan sampai melupakan 'Sumpah Hipokrates' yang berisi mengutamakan melayani kemanusiaan. Sumpah Hipokrates adalah sumpah yang secara tradisional dilakukan oleh para dokter, tentang etika yang harus mereka lakukan dalam melakukan praktik profesinya, semua pihak perlu melihat secara objektif kasus hukum yang melibatkan dr Ayu tersebut. Yang perlu digarisbawahi adalah tidak boleh seorang dokter sengaja menelantarkan pasien seperti yang diatur dalam UU No 26 tahun 2009 tentang Kesehatan. "Tapi kalau seorang dokter sudah melakukan secara legal dan akhirnya (pasien) meninggal, dan melakukan dengan sebaik-baiknya, jangan dibegitukan,". Namun, adanya pasien yang mengatasnamakan hukum jika dirugikan. Ditakutkan, tindakan profesionalisme dokter terguncang atas tekanan tersebut. Dokter yang sudah berupaya maksimal dalam memberi perawatan dan ada pasien yang meninggal tidak bisa dihukum.
MA menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara untuk dr Dewa Ayu Sasiary, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian. Ketiganya dianggap melakukan kelalaian saat menangani pasien bernama Siska Makatey di Rumah Sakit Kandou Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara, pada 10 April 2010. Dokter Ayu dan Hendry Simanjuntak telah ditahan di Rutan Manado.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar