Analisis Sistem Pengelolahan Limbah Medis Rumah Sakit dan
Implementasi Kebijakan terkait KepMenKes RI No/1204/Menkes/SK/X/2004
Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit (Pengelolaan Limbah Medis)
Dosen
Pengampu:
Dr.
C Tjahjono Kuntjoro, PhD
DI SUSUN OLEH:
1.
DJIMMY HERU
PURNOMO B ( 17.C2.0001 )
2.
NADIA LILIANI (
17.C2.0002 )
3.
NUR AZIZAH ( 17.C2.0014 )
4.
TIAZH OKTAVIANI ( 17.C2.0020 )
5.
YOVIA VALENTINA
(
17.C2.0035 )
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM
KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2018
BAB I
LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan
negara yang sedang berkembang, dimana upaya pembangunan di segala bidang sedang digalakkan
secara besar-besaran saat ini, sehingga diperlukan sumberdaya alam untuk
melakukan pembangunan (Adji Samekto, 2008).
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU RI Nomor
23 Tahun 1997) pembangunan dapat didefiniskan sebagai upaya sadar untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya, guna meningkatkan mutu kehidupan
rakyat. Sehingga pembangunan dapat dikatakan sebagai usaha pemerintah dan
segenap lapisan masyarakat kita yang ditujukan guna mencapai kesejahteraan bagi
masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan menghasilkan manfaat di segala
bidang kehidupan termasuk kesehatan. Namun disamping membuahkan manfaat,
pembangunan akan menyebabkan timbulnya perubahan terhadap lingkungan dan sumber
daya alam. Pencemaran lingkungan yang merupakan akibat dari ketidakpedulian
pihak industriawan maupun masyarakat terhadap dampak negatif yang ditimbulkan
dari industrialisasi. Pencemaran lingkungan membuat kualitas lingkungan hidup
merosot dan juga dapat menurunkan kualitas hidup manusia yang ada di lingkungan
hidup yang tercemar tersebut (Chandra, 2007).
Rumah sakit merupakan institusi
pelayanan kesehatan dengan inti kegiatan pelayanan preventif, kuratif,
rehabilitatif dan promotif. Kegiatan tersebut akan menimbulkan dampak positif
dan negatif. Dampak positifnya adalah meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat, sedangkan dampak negatifnya antara lain menghasilkan sampah dan
limbah medis maupun non medis yang dapat menimbulkan penyakit dan pencemaran
yang perlu perhatian khusus. Di tempat ini dapat terjadi penularan baik secara
langsung (cross infection), melalui
kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga (vector borne
infection) sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat umum
(Chandra, 2007).
Berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 pada pasal 28 H ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Dalam
hal ini negara telah mengatur mengenai ketentuan pembuangan limbah yang
berdampak pada pencemaran lingkungan hidup, dimana juga telah ditegaskan
kembali dalam beberapa peraturan lainnya, yakini Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 82/2001 Tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Undang-Undang No. 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yaitu pada Bagian Keempat Pasal 11 ayat (1e)
dan Bagian Kedua Pasal 8 ayat (1) dan (2). Dengan adanya peraturan tersebut maka diwajibkan kepada setiap
Rumah Sakit untuk memiliki instalasi pengolahan limbah terpadu guna memenuhi
standar kesehatan lingkungan. Tetapi dengan sedemikian banyaknya peraturan yang
didalamnya memerintahkan kepada setiap Rumah Sakit untuk mengelola limbah
medisnya ternyata masih banyak pengelola Rumah Sakit yang belum dan tidak
melakukan upaya pengelolaan terhadap limbah yang mereka hasilkan terutama
limbah medis.
Menurut Profil Kesehatan Departemen
Kesehatan 2016 dari 2609 Rumah Sakit di Indonesia hanya 453 Rumah Sakit atau
17,36% yang melakukan pengelolaan limbah Rumah Sakit sesuai dengan standar. DKI
Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan Indonesia didapatkan 41 Rumah Sakit
yang melakukan pengelolaan limbah RS sesuai dengan standart dari 191 Rumah
Sakit atau 21,47%. Jawa Tengah 6,83%, Jawa Timur 1,34%, Jawa Barat 16,62 %,
Sumatra Selatan 2,99%, Kalimantan Barat 2,22%. Bahkan terdapat provinsi yang
belum sama sekali melakukan pengelolaan limbah RS sesuai dengan standart
diantaranya Bengkulu, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, Papua.
Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit, Penanggung jawab Rumah Sakit yang bertanggung jawab terhadap
pengelolaan kesehatan di lingkungan Rumah Sakit, Pembinaan dan Pengawasan
penyelenggaraan kesehatan lingkungan Rumah Sakit sudah diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004. Pihak-pihak
yang terkait diantaranya Dinas Kesehatan, Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Rumah sakit, PT Pengelolaan Limbah yang bekerjasama dengan Rumah
Sakit, Masyarakat, Pemerintah Daerah/Kota hendaknya bekerja sama untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa mencemari lingkungan.
BAB II
MASALAH
A.
PERNYATAAN MASALAH
Timbunan Limbah Alat Medis yang ditemukan di Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) liar di Desa
Pangurangan Wetan, Kecamatan Pangurangan, Kabupaten Cirebon diduga
berasal dari pengusaha limbah medis. Berdasarkan keterangan Kepala Desa
Pangurangan Wetan, Parida mengatakan
tanah yang digunakan sebagai TPS itu merupakan tanah milik Dinas
Pengelola Sumber Daya Air ( DPSDA ) Cirebon. Parida mengakui bahwa limbah yang
dibuang ke TPS mayoritas berasal dari pengusaha rongsok yang ada di Kecamatan
Pangurangan. Namun, Parida mengaku tidak
mengetahui secara persis pengusaha limbah medis yang membuang limbahnya secara
sembarangan.
Dinas Kesehatan
(Dinkes), menyatakan tumpukan limbah medis berisi bahan berbahaya dan
beracun (B3), bukan berasal dari limbah medis rumah sakit di kabupaten
setempat. Kepala Dinkes Kabupaten Cirebon, Enny Suhaeni, mengaku sudah sempat
memanggil dan menindak perusahaan yang diduga membuang limbah medis tersebut.
Pemanggilan dilakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup dan kepolisian.
"Ternyata ramai lagi tahun ini. Saya juga tidak habis pikir," kata
dia kepada (Liputan6.com), Rabu, 6 Desember 2017. Dinkes, menurut
dia, sudah melakukan pendekatan kepada masyarakat Desa Panguragan, tapi tidak
berbuah hasil maksimal. Enny juga mengaku sudah menelusuri pembuangan limbah medis yang ada di rumah sakit di
Kabupaten Cirebon, tapi hasilnya nihil.
Salah seorang Warga Daerah Pangurangan Wetan yang
tidak disebutkan namanya mengetahui persis alur kedatangan limbah medis ke
daerahnya, menurutnya limbah medis tersebut tidak langsung dari rumah sakit,
pihak rumah sakit memberikan bayaran kepada rekanan yang menangani limbah medis
dengan harga Rp.13.000 perkilogram. Dari
rekanan limbah medis selanjutnya dijual ke oknum pengusaha rongsok asal
penguragan dengan harga Rp. 2.500 perkilogram sedangkan omsetnya mencapi
ratusan ton. Oknum pengusaha kemudian
membawa limbah medis itu ke penguragan, selain limbah medis ada pula potongan
tubuh manusia dan usus manusia yang ditemukan pada pembuangan sementara
tersebut. Limbah medis dibawa menggunakan truk sebanyak 4 truk perharinya,
sedangkan satu buah truk mampu menampung 4 ton limbah medis, dengan demikian
ada 16 ton limbah medis perharinya yang dibawa ke panguragan. Seluruh limbah
itu kemudian dipilah dan diambil yang
memiliki nilai ekonomis tinggi, adapun limbah medis yang diambil berupa plastik
yang berbahan baku PVC setelah
dibersihkan dan di olah lebih lanjut kemudian dijual lagi ke pabrik diberbagai
kota dengan harga 15.000 sampai 20.000 perkilogram (Republika.co.id)
Hingga November 2017,
temuan limbah medis yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) di
Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, merupakan kasus terbesar yang pernah
ditangani KLHK RI. Dampak
negatif limbah medis terhadap masyarakat dan lingkungan terjadi akibat
pengelolaan yang kurang baik. Limbah medis jika tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan patogen yang dapat berakibat buruk terhadap manusia dan
lingkungan. Hampir di setiap tempat sampah ditemukan bekas dan sisa
makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik berupa botol
bekas infus. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola
dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan
limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan
nonmedis, karena limbah nonmedis diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya.
Artinya, dikelola Dinas Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah seperti di Cirebon Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan
limbah medis.
Di
Indonesia sendiri memang pada kenyatataan nya masih banyak rumah sakit yang
tidak memiliki alat insenerator, sehingga sampah limbah medis di buang
sembarangan tanpa ada pemilahan dan pengolahan secara standard an sesuai
peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan masalah limbah medis menjadi
masalah yang besar, perlu kerjasama yang baik antara pemerintah terkait dengan
rumah sakit, agar setiap rumah sakit dapat memiliki alat pengolahan limbah
medis sehingga mengurangi masalah yang dapat diakibatkan oleh limbah medis.
B.
Tujuan dan Sasaran
yang akan dicapai
1.
Tujuan yang ingin
dicapai dari pengolahan limbah berdasarkan KepMenKes RI
No.1204/Menkes/SK/X/2004 adalah :
a.
Agar
terciptanya lingkungan yang sehat dan bebas dari limbah rumah sakit demi
terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
b.
Limbah
yang diolah secara terstruktur dan diawasi pemerintah dapat berdaya guna
kembali dan memiliki nilai ekonomi.
c.
Agar
masyarakat mengetahui cara menanggulangi dampak dari limbah rumah sakit
terhadap kesehatan.
d.
Agar
pemerintah lebih memperhatikan regulasi pembuangan limbah rumah sakit.
e.
Agar
pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses
terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
2.
Sasaran yang terlibat
dalam Pengolahan Limbah Berdasarkan
KepMenKes RI No 1204/Menkes/SK/X/2004 adalah :
a.
Masyarakat
b.
Rumah
sakit
c.
Pemerintah
d.
Dinas
Lingkungan Hidup
e.
Dinas
Kesehatan
f.
PT
( Perseroan Terbatas)
BAB III
ANALISIS
MASALAH
A.
ANALISIS MASALAH
Di negara yang berpendapatan rendah atau menengah, limbah layanan kesehatan
yang dihasilkan biasanya lebih sedikit daripada di negara berpendapatan tinggi.
Namun, rentang perbedaan antara negara berpendapatan menengah mungkin sama
besarnya dengan rentang perbedaan di antara negara berpendapatan tinggi, juga
di antara negara berpendapatan rendah. Limbah layanan kesehatan yang dihasilkan
menurut tingkat pendapatan nasional negara, pada negara berpendapatan tinggi
untuk semua limbah layanan kesehatan bisa mencapai 1,1– 12,0 kg perorang setiap
tahun nya, dan limbah layanan kesehatan berbahaya 0,4 – 5,5 kg perorang setiap
tahunnya, pada negara berpendapatan menengah untuk semua limbah layanan
kesehatan menunjukkan angka 0,8 – 6,0 kg perorang setiap tahunnya sedangkan
limbah layanan kesehatan yang berbahaya 0,3 – 0,4 kg perorang setiap tahun nya,
sedangkan negara berpendapatan rendah semua limbah layanan kesehatan
menghasilkan 0,5 – 3,0 kg perorang setiap tahunnya (WHO, 2005). Indonesia yang
termasuk negara berpendapatan menengah, dengan produksi limbah medis dalam
jumlah besar, masih kesulitan dalam proses pengolahan dan pembuangan limbah
medis.
Masalah pencemaran lingkungan akibat timbunan limbah
alat medis yang terjadi di Desa Panguragan Wetan, Cirebon merupakan salah satu contoh kasus yang cukup rumit. Hal
pertama yang menyebabkan adalah penggunaan tanah sebagai Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) milik Dinas Pengelola Sumber Daya Air. Penggunaan lahan ini
secara liar dan tanpa ijin. Padahal limbah rumah sakit tersebut mengandung
bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat
dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain. Beberapa contoh dari limbah medis yang ditemukan di TPS
tersebut antara lain potongan tubuh manusia, usus, jarum suntik, botol obat, tabung darah, dan juga bekas vaksin-vaksin yang
infeksius dan dapat menyebabkan penyakit.
Asal limbah di TPS Panguragan diketahui bukan hanya dari rumah sakit
kabupaten setempat sehingga sulit untuk dilakukan pelacakan. Pihak rumah sakit
tersebut hanya memberikan bayaran kepada rekanan yang menangani limbah medis
sebagai pihak ketiga. Kemudian terjadi transaksi lagi dengan pihak selanjutnya
dan limbah medis tersebut berakhir di Panguragan. Timbunan limbah medis ini dibawa
oleh pengusaha rongsok dan pengusaha limbah medis. Banyak oknum yang terlibat
dan masih belum diketahui secara pasti. Belum ada kontrol dari pemerintah
setempat sehingga jumlah limbah medis yang dibawah hingga mencapai 16 ton per
hari. Dinkes kota Cirebon
telah berusaha untuk melakukan pemanggilan dan penindakan pada perusahaan yang
diduga , pendekatan kepada masyarakat tetapi tidak membuahkan hasil.
Pengelolaan Limbah B3 terkait beberapa pihak yang
masing-masing merupakan mata rantai, yaitu :
1. Penghasil
limbah B3
2. Pengumpul limbah B3
3. Pengangkut
limbah B3
4. Pemanfaat
limbah B3
5. Pengolah
limbah B3
6. Penimbun limbah B3
Masing-masing pihak wajib memiliki izin agar dapat
dipastikan setiap mata rantai dilakukan secara benar, tepat, dan sesuai dengan
tujuan dan persyaratan Pengelolaan Limbah B3. Dalam kasus yang terjadi di
Panguragan, terdapat beberapa pihak yang dapat berkontribusi dalam menimbulkan
masalah tersebut.
Rumah sakit tidak hanya menghasilkan limbah organik dan anorganik, tetapi
juga limbah infeksius yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3) seperti
limbah cucian rontgen dari ruang radiologi yang mengandung Hg, Ag. Limbah medis
yang berupa jasad renik dapat menyebabkan penyakit pada manusia termasuk demam
typoid, kholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum
dibuang ke lingkungan. Pengelolaan limbah rumah sakit dilakukan mulai dari
pengumpulan sampai pemusnahan, sesuai dengan tata laksana pengelolaan limbah
rumah sakit. Limbah non infeksius dan infeksius harus dikelola sesuai baku mutu
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sedangkan limbah radioaktif
pengelolaannya menjadi kewenangan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), namun
pedoman penyimpanan sementara mengacu pada pedoman Kementerian Kesehatan.
Rumah sakit dapat berperan sebagai penghasil,
pengumpul, pengangkut, pemanfaat, dan pengolah limbah. Proses pemilahan limbah
harus dilakukan mulai dari rumah sakit. Cara yang paling tepat dalam
pengelolaan limbah adalah dengan melakukan pemilahan limbah berdasarkan warna
kantong atau kontainer plastik yang digunakan. Pengemasan dan pemberian label
harus jelas untuk membedakan jenis limbah. Dalam kasus ini masih banyak
ditemukan potongan tubuh manusia, jarum suntik, botol
obat, tabung darah, dan bekas vaksin yang bercampur tanpa adanya kontainer/
kantong plastik kuat dan anti bocor yang memisahkan. Sehingga terdapat
kecurigaan adanya kelalaian dalam proses pemilahan rumah sakit.
Setelah pengumpulan dari sumber penghasil limbah
kemudian ditempatkan pada tempat penampungan sementara. Area penyimpanan limbah
harus diamankan untuk mencegah binatang, anak-anak, memasuki dan mengakses
daerah tersebut. Selain itu harus kedap air (sebaiknya beton), terlindung dari
air hujan, dipagari dengan penanda yang tepat. Rumah sakit yang tidak memiliki alat
pengolah limbah dapat bekerja sama dengan perusahaan limbah medis yang memiliki
ijin dan standar operasional yang jelas. Perusahaan limbah medis ini yang
nantinya akan berperan sebagai pihak ketiga dan pengelola. Perusahaan limbah
medis menggantikan peran rumah sakit untuk mengumpulkan, mengemas, dan
mengangkut limbah ke luar rumah sakit. Dalam kasus ini terjadi pelanggaran
akibat adanya perusahaan yang tidak bertanggungjawab membuang limbah langsung
sebelum dipastikan aman bagi kesehatan ke tempat pembuangan sementara yang
terbuka dan dapat diakses bebas oleh masyarakat. Beberapa perusahaan tersebut
juga diketahui menjual kembali ke oknum pengusaha rongsok asal Panguragan dalam
jumlah yang besar dan berkelanjutan.
Banyak oknum-oknum ilegal yang tidak memiliki ijin
mengolah di Panguragan, seperti kasus oknum TNI yang tertangkap menyediakan
gudang-gudang untuk menyimpan sementara limbah medis. Sedangkan aturannya,
Tempat Penampungan Sementara (TPS) bagi rumah sakit yang mempunyai insinerator
di lingkungannya harus membakar limbah selambat-lambatnya 24 jam. Bagi rumah
sakit yang tidak mempunyai insinerator maka limbah medis padatnya harus
dimusnahkan melalui kerja sama dengan rumah sakit lain atau pihak lain yang
mempunyai insinerator untuk pemusnahan selambat-lambatnya 24 jam. Sedangkan
limbah yang disimpan di gudang-gudang tersebut tidak diketahui lamanya
penyimpanan.
Meskipun telah ada perumusan tindak pidana
lingkungan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu pada :
Pasal
101
bagi setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik
ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan. Pasal 102 bagi
setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud Pasal 103 bagi setiap orang
yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan. Pasal 109 bagi setiap orang yang
melakukan usaha/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
Masing-masing dapat dipidana dengan pidana penjara
paling singkat satu tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit satu
milyar dan paling banyak 3 milyar. Tetapi peraturan ini tampaknya masih tidak
membuat jera perusahaan yang menerima limbah medis rumah sakit untuk mematuhi
tata cara pengelolaan limbah yang benar. Terlebih lagi justru memunculkan
banyak oknum-oknum yang ilegal.
B. INDIKATOR
UNTUK MENILAI KEBERHASILAN DALAM MENYELESAIKAN MASALAH
1. Administrasi kegiatan.
2. Pelaksanaan kegiatan
3. Hasil kegiatan
4. Dampak kegiatan
BAB IV
ALTERNATIF
KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI
A.
ALTERNATIF-ALTERNATIF
KEBIJAKAN YANG DIUSULKAN
Alternatif
kebijakan adalah arah tindakan publik (yang masih) potensial (belum
dilaksanakan) yang dapat memenuhi nilai atau pemuasan kebutuhan publik. Dengan
kata lain, alternatif kebijakan merupakan arah tindakan yang dapat dipilih
untuk mengatasi problema tersebut. Informasi tentang alternatif kebijakan
adalah salah satu komponen terpenting dalam analisa kebijakan, karena lengkap
tidaknya informasi akan berpengaruh besar pada apakah suatu problem kebijakan
dapat terpecahkan atau tidak. (Wahyu, 2002)
Secara
implisit dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa penerapan dan pelaksanaan pengelolaan
limbah medis setiap rumah sakit di Indonesia masih termasuk dalam kategori
belum baik atau dengan kata lain masih belum memenuhi syarat kesehatan
lingkungan sesuai dengan KepMenKes RI No.1204/Menkes/SK/X/2004. Dengan demikian
alternatif kebijakan yang dapat kami usulkan dalam mempertegas sistem
pengelolaan limbah medis di rumah sakit terkait dalam penerapan kebijakan
menteri kesehatan tentang persyaratan kesehatan lingkungan di rumah sakit antara
lain adalah :
1.
Berdasarkan
data Profil Kesehatan Departemen Kesehatan 2016, dari 2609 Rumah Sakit di
Indonesia hanya 453 Rumah Sakit atau 17,36% yang melakukan pengelolaan limbah
Rumah Sakit sesuai dengan standar. Berdasarkan data diatas sebaiknya Pemerintah
Pusat bersama Pemerintah Daerah bekerja sama melakukan pemerataan penyediaan
sumber daya, pembinaan dan pengawasan pengelolaan limbah medis di semua Fasyankes
di Indonesia.
2.
Pengelolaan
limbah medis yang sesuai standar di Rumah Sakit dijadikan salah satu syarat
penting dalam menunjang akreditasi Rumah Sakit.
3. Pemerintah harus mewajibkan setiap
Rumah Sakit di Indonesia harus memiliki alat insinerator atau memperbaiki Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) sesuai dengan kriteria dan mengajukan izin TPS ke Badan
Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) setempat dan melaporkan pelaksanaan program
pengelolaan dan pencatatan limbah yang dihasilkan.
4. Setiap Rumah Sakit yang belum
mempunyai alat insinerator baiknya melakukan kemitraan dengan perusahaan yang
menyediakan sistem pengolahan limbah medis dan Pemerintah melaksanakan
pengawasan secara intens terhadap pengolahan limbah medis yang dilakukan oleh
perusahaan kemitraan tersebut.
5. Adanya sanksi hukum yang tegas bagi
Fasyankes maupun Perusahaan Kemitraan dan setiap oknum masyarakat yang
melakukan pelanggaran pengolahan limbah medis demi kepentingan pribadi dalam
meraup keuntungan (kepentingan bisnis).
B.
PERAMALAN TERHADAP KEBIJAKAN YANG
ADA DAN ALTERNATIF YANG DIUSULKAN
Peramalan
adalah pembuatan statemen fakta tentang masa depan berdasarkan pada pengetahuan
tentang kejadian atau keaadaan yang telah terjadi atau biasa disebut dengan forescating. Bagi analisis kebijakan,
prosedur peramalan digunakan untuk meramalkan akibat dari alternatif publik
atau akibat jika tidak ada tindakan publik. Terdapat tiga dasar yang dapat
digunakan untuk melakukan prosedur peramalan yaitu instuisi, teori dan
estrapolasi. Peramalan sering medasarkan diri pada instuisi, seperti pendapat
pribadi, spekulasi atau perkiraan. (Rahmat, 2017)
Berdasarkan
pengertian tentang konsep peramalan kebijakan diatas, penulis dapat menarik
suatu asumsi peramalan berdasarkan pada instuisi yang menganalogikan kondisi saat
ini bersama kebijakan yang telah ada terhadap pengelolaan limbah medis di rumah
sakit, bahwa akan berlangsung secara terus menerus tanpa menutup kemungkinan
akan menimbulkan masalah yang baru terhadap kasus limbah medis di Indonesia
saat ini dan masa mendatang jikalau pemerintah tidak mengambil sikap secara
tegas dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, tidak melaksanakan pemerataan
sarana dan prasanana pengelolaan limbah medis di rumah sakit seluruh Indonesia sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan secara meyeluruh dengan melibatkan semua
pihak yang bertanggung jawab dan juga memberikan sanksi hukum yang tegas bagi
siapa saja yang melanggar kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan limbah
medis rumah sakit.
Sedangkan
untuk konsep peramalan kebijakan terhadap alternatif-altenatif yang diusulkan
oleh kami, diharapkan pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, rumah sakit
sebagai tempat penyedia layanan kesehatan bersama masyarakat mampu menanggulangi
permasalahan mengenai pengelolaan limbah medis dan mengurangi resiko akan
terjadinya penyalahugunaan wewenang dalam meraup keuntungan bisnis bagi
oknum-oknum masyarakat atau perusahaan dan tidak menutup kemungkinan bagi Rumah
Sakit sendiri.
C.
ALTERNATIF YANG DIREKOMENDASIKAN
Alternatif
utama yang dapat kami rekomendasikan atas kebijakan pemerintah dalam hal ini
sesuai dengan KepMenKes RI No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit (Pengelolaan Limbah Medis)
dalam menanggapi kondisi ataupun permasalahan yang terjadi di Indonesia saat
ini adalah memberikan
sanksi hukum yang tegas bagi Fasyankes maupun Perusahaan Kemitraan pelanggaran
pengolahan limbah medis dan setiap oknum masyarakat yang melakukan penyalahgunaan
wewenang demi kepentingan pribadi dalam meraup keuntungan (kepentingan bisnis).
BAB
V
STRATEGI
IMPLEMENTASI
A.
STRATEGI
APA YANG AKAN DIKERJAKAN
Keberagaman sampah/limbah rumah sakit
memerlukan penanganan yang baik sebelum proses pembuangan. Sayang sebagian
besar pengelolaan limbah medis (medical waste) RS masih di bawah standar
lingkungan karena umumnya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
dengan sistem open dumping atau dibuang di sembarang tempat. Bila pengelolaan
limbah tak dilaksanakan secara saniter, akan menyebabkan gangguan bagi
masyarakat di sekitar RS dan pengguna limbah medis. Agen penyakit limbah RS
memasuki manusia (host) melalui air, udara, makanan, alat, atau benda. Agen
penyakit bisa ditularkan pada masyarakat sekitar, pemakai limbah medis, dan
pengantar orang sakit.
Berbagai cara dilakukan RS untuk
mengolah limbahnya. Tahap penanganan limbah strategi yang harus dilakukan yakni
salah satunya menyediakan pewadahan, pengumpulan, pemindahan pada transfer
depo, pengangkutan, pemilahan, pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Pembuangan
akhir ini bisa berupa sanitary fill, secured landfill, dan open dumping.
Sehingga adanya pengolahan yang baik tidak akan menimbulkan penyakit penyerta
lain yang lebih membahayakan.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang
mempunyai resiko untuk mendapat gangguan karena buangan rumah sakit :
1.
pasien yang datang ke
Rumah Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit.
Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan.
2.
karyawan Rumah sakit
dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu kontak dengan orang sakit yang
merupakan sumber agen penyakit.
3.
pengunjung/pengantar
orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan
akan semakin besar.
4.
masyarakat yang
bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi bila Rumah sakit membuang
hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke lingkungan sekitarnya.
Akibat dari pembuangan sampah yang tidak
sesuai dengan standar atau sembarangan diantaranya bisa berdampak pada kualitas
lingkungan menjadi menurun dengan akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat
kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, rumah sakit wajib
melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang baik dan benar dengan
melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit. Karena limbah yang ada di rumasakit
buikan hanya limbah cair saja namun juga ada limbah padat yang dapat membuat
perlukaan seperti beling, jarum dan alat lain.
Aspek pengelolaan limbah telah
berkembang pesat seiring lajunya pembangunan. Konsep lama yang lebih menekankan
pengelolaan limbah setelah terjadinya limbah (end-of-pipe approach) membawa
konsekuensi ekonomi biaya tinggi. Kini telah berkembang pemikiran pengelolaan
limbah dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan. Dengan pendekatan sistem
itu, tak hanya cara mengelola limbah sebagai by product (output), tetapi juga
meminimalisasi limbah. Pengelolaan limbah RS ini mengacu Peraturan Menkes No
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumasakit dan
pengelolaan limbah medis, dan tentang petunjuk
teknis Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit. Intinya penyelamatan pasien dan
tenaga medis harus di nomorsatukan, kontaminasi agen harus dicegah, limbah yang
dibuang harus tak berbahaya, tak infeksius, dan merupakan limbah yang tidak
dapat digunakan kembali.
Rumah sakit sebagai bagian lingkungan
yang menyatu dengan masyarakat harus menerapkan prinsip ini demi menjamin
keamanan limbah medis yang dihasilkan dan tak melahirkan masalah baru bagi
kesehatan di Indonesia.
D.
PERAN
STAKEHOLDERS
1.
Dinas kesehatan
Dalam
peran dinas kesehatan disini yakni melakukan kontrol pengawasan berkala
terhadap proses pembuangan limbah, sebelum menumbulkan dampak yang nyata. Dinas
kesehatan juga bertanggungjawab penuh terhadap pelatihan dan pengetahuan dari
berbagai aspek seperti meminta dan menghimbau pihak rumasakit dalam pembuangan
limbah dari cara pembuangan yang tidak boleh salah masuk dari limbah infeksius,
non infeksius maupun sampah benda tajam. Sehingga pada saat proses daur ulang
dan pengoolahan tidak salah.
Dari
sini dinas kesehatan pun perlu melakukan secara teknis dari sistem pengolahan
sampah medis yang meliputi 5 aspek atau komponen yang saling mendukung aspek
teknis oprasional, pengelolaan sampah perkotaan meliputi dasar perencanaan
untuk kegiatan pewadahan sampah, pengumpulan sampah, pengolahan sampah di
tempat mpembuangan akhir yang berpaparan langsung dengan lingkungan masyarakat.
2.
Kementrian lingkungan
hidup dan kehutanan
Tugas dan fungsi
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disini sebagai Pemulihan Tempat pembuangan
Akhir, sedianya kementrian lingkungan memberlakukan fungsi TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) dibuat secara tersetruktur rapi dan ramah lingkungan.
Kementerian
lingkungan hidup dan kehutanan juga memiliki andil dalam mengangkat dan memusnahkan
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) medis dan non medis yang berada di TPS
liar dalam hal ini dalam pengendalian kasus pengolahan limbah secara ilegal
sehingga tidak akan membahayakan masyarakat sekitar dan menimbulkan masalah
baru dengan sampah yang membuat lingkungan hidup menjadi tercemar atau biota
laut kedepannya. Limbah medis termasuk limbah B3 menurut PP No. 101 tahun 2014
tentang pengolahan limbah B3 sehingga penanganan sejak timbulnya hingga
penimbunan harus tepat dan benar.
3. Rumah
sakit
Limbah dari
pelayanan kesehatan yang bersumber dari klinik, Rumah sakit, rumah bersalin dan
Faskes lainya, dapat di klasifikasikan dalam beberapa kategori utama yaitu
limbah umum, limbah patologis (jaringan tubuh), limbah radio aktif, limbah
kimiawi dan limbah yang berpotensi menular (infeksius), limbah benda tajam
limbah farmasi, limbah sitotoksik dan kontainer dalam tekanan. Limbah limbah
tersebut yakni limbah yang dapat membengaruhi kesehatan manusia, memperburuk
kesehatan manusia, memperburuk kelestarian lingkungan hidup apabila dikelola
dengan baik.
Untuk
mengoptimalkan upaya penyehatan rumah sakit dan pencemaran limbah yang
dihasilkan oleh rumasakit harus memiliki pengelolaan limbah tersendiri yang
diatur dalam Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang persyaratan
kesehatan rumah sakit seperti pengolahan limbah padat, dan limbah cair. Dan
rumah sakit juga bisa memberlakukan penyerahan kepada pihak kedua untuk
pengolahan sampah apabila rumah sakit itu sendiri tidak memiliki insenerator.
4. (Perseoan
Terbatas) PT pengelolaan limbah
Rumah
sakit merupakan institusi kesehatan dengan inti kegiatan pelayanan preventif,
kuratif, rehabilitatif dan promotif. Rumah sakit juga salah satu dari sekian
Faskes yang memberikan layanan kesehatan bagian unit operasional yang selalu
bekerja dalam 24 jam sehari penuhdan 7 hari dalam satu minggunya. Rumah sakit
ini juga berfungsi sebagai sosio-ekonimis bagi kehidupan masyarakat dalam hal
ini tentunya akan muncul persoalan positif dan negatif. Dampak negatif ini
salah satunya adalah penyumbang sampah yang cukup lumayan harus mendapat
perhatian yang serius, dan banyak sekali rumah sakit yang belum memiliki tempat
pengolahan sampah medis yang memadahi. Maka rumah sakit terkadang menyewa pihak
kedua untuk melakukan pengolahan sampah medisnya, salah satunya dengan menyewa
jasa PT pengolahan limbah medis, dan banyak sekali bermunculan PT terjun
langsung dalam penanganan, penyimpanan, pengolahan dan mendaur ulang sampah
sampah yang terdapat di rumah sakit.
Diperlukanya
PT pengolahan limbah rumah sakit yang berstandar dan benar dalam penanganan
menjadi tanggung jawab yang cukup serius untuk diperhatiikan sebelum muncul
dampak lain. Peran dari PT pengolahan limbah medis ini tentunya sangat penting
dimana iya perlu mengembangkan teknik-teknik dalam pengolahan limbah medis
secara sederhana dan mudah dioprasikan, kemudian juga perlu ketelitian dalam
setiap pengolahannya. Limbah yang diolah juga harus diperhatikan sesuai dengan
karakteristik limbah yang ada, baik diperhatikan secara teknis, ekonomis dan
memenuhi standar lingkungan masyarakat.
Kemudian
kewajiban pelaku usaha dalam hal ini Institusi Rumah Sakit didalam upaya
pelaksanaan pengelolaan lingkungan khususnya mengenai pengelolaan limbah
merupakan bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit. Kewajiban rumah sakit diantaranya adalah Pertama,
perlu menerapkan kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah hasil kegiatan,
dimana pengelolaan itu meliputi : menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, dan menggunakan atau membuang. Kedua, setiap kegiatan yang
menimbulkan dampak besar seperti rumah sakit wajib membuat AMDAL (Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), Ketiga, menciptakan lingkungan yang
sehat dan bersih.
5. Masyarakat
Masyarakat di
dalam lingkungan rumasakit yang terdiri dari pasien pengunjung dan tenaga medis
disini memiliki peran dan fungsinya. Dan peran utama masyarakat disini yakni
menjaga dan selalu memperhatikan setiap SOP dan tau cara bagaimana menjalankan
sebuah SOP rumah sakit seperti salah satu langkah sederhana yakni memperhatikan
setiap perintah yang ada dalam membuang sampah dan jangan sembarangan. Peduli
pada lingkungan adalah kunci utama.
6. Pemerintah
daerah/kota
Pemerintah kota
atau daerah disini sangat memiliki peran yang sangat penting dalam segala
sesuatu yang ada di daerah wilayah yang dipimpinnya. Dalam setiap kebijakan dan
perijinan pembuatan rumah sakit maupun berdirinya sebuah layanan masyarakat
maupun bangunan usaha lainnya. Termasuk dalam pemberian ijin berdirinya
bangunan sesuai ijin fungsi, kita ambil contoh yakni bangunan rumasakit.
Pemerintah juga harus jeli dalam melihat apa yang ada didalam sebuah bangunan
tersebut salah satunya harus memperhatian aspek alam yang akan menjadi dampak
selain air, tinggi bangunan, syarat surat-surat bangunan dan termasuk
didalamnya adalah penanganan limbah yang ada di dalam rumahsakit, kalaupun rumah
sakit tidak menyediakan maka pemerintah juga bertanggungjawab melihat pihak
kedua dalam penanganannya seperti PT (Perseroan Terbatas) dalam pelimpahannya.
Selain pengawasan pemerintah juga selalu meninjau secara berkala apa yang ada
di lapangan sesuai dengan apa yang sudah tertulis didalam kontrak salah satunya
dengan memperketat akreditasi suatu instansi rumah sakit dan dengan melakukan
peninjauan berkala yang telah disediakan atau terjadwal dalam agenda
pemerintahan.
Pada
dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan lingkungan hidup
adalah pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha lainnya. Sesuai Pasal 9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, menunjuk adanya tugas pemerintah baik
pemerintah pusat maupun daerah yakni diantaranya menetapkan kebijakan nasional
tentang lingkungan hidup, dan bahwa kebijakan ini harus dilakukan secara
terpadu oleh semua instansi. Pasal ini menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan
tidak hanya terbatas pada tanggung jawab bersama secara terpadu. Dengan
demikian persoalan pokoknya justru terletak pada koordinasi dan pembagian
tanggung jawab. Namun demikian dalam kenyataan kelemahan mekanisme koordinasi
justru lebih banyak menjadi faktor kendala bagi pelaksanaan pengelolaan
lingkungan seperti yang menjadi target yang diharapkan.
E.
HAMBATAN
DALAM IMPLEMENTASI
Pengelolaan Lingkungan hidup di
Indonesia menetapkan muara yang menjadi ukuran keberhasilan pengelolaan
lingkungan ini pada perwujudan pembangunan yang berkelanjutan, yang diartikan
sebagai upaya sadar dan terencana, memadukan lingkungan hidup termasuk sumber
daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Demikian perlu
dipertegas adalah lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai
subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata untuk
pertumbuhan pembangunan. Lingkungan Hidup sebagai suatu sistim kehidupan yang
dapat berlangsung seimbang jika kualitas komponen didalamnya tetap berjalan
stabil.
Hambatan
dalam implementasi proses pengolahan limbah medis ini diantaranya Pertumbuhan
jumlah rumah sakit di Indonesia akhir-akhir ini sangatlah pesat. Efek dari
pertumbuhannya adalah limbah rumah sakit yang dapat mencemari lingkungan.
penduduk dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Ini disebabkan
kandungan limbah rumah sakit yang mengandung berbagai jasad renik
penyebab berbagai penyakit. Sehingga perlu sistem yang baik untuk mengolah
limbah tersebut. Sedangkan banyak rumasakit yang belum memiliki pengolahan
limbah medis tersendiri.
Dengan
pertimbangan tersebut, rumah sakit diwajibkan menyediakan sarana pembuangan dan
pengelolaan limbah padat maupun cair. Seperti penyediaan alat incenerator atau
Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL). Atau memakai pihak ke dua yang memiliki
alat tersebut.
Pengelolaan
limbah rumah sakit dibedakan berdasarkan jenis limbahnya. Limbah medis dan non
medis, baik cair maupun padat. Limbah non medis tidak memerlukan pengolahan
yang khusus, sedangkan limbah medis perlu pengolahan khusus. Untuk limbah medis
cair diproses dalam pengolahan air limbah yg disebut IPAL. Limbah cair akan
ditreatment dengan berbagai proses penyaringan dan penjernihan sehingga hasil
akhir dari air buangan tersebut tidak lagi mengandung kuman atau bakteri yang
dapat mencemari dan menyebabkan penyakit di lingkungan sekitarnya. Sedangkan
limbah medis padat harus dihancurkan dengan cara dibakar dengan suhu tinggi
hingga berubah menjadi abu.
Alat
yang digunakan untuk membakar limbah medis padat adalah incenerator. Alat ini
memiliki suhu hingga 1600°C. Dengan waktu dan suhu pembakaran tertentu
jasad renik yang ada pada limbah medis tersebut mati dan limbah tersebut akan berubah
menjadi abu. Abu tersebut dapat digunakan untuk campuran pembuatan batu bata
dan lain-lain.
BAB
VI
RENCANA
MONITORING DAN EVALUASI
A.
Monitoring
1.
Out come
Adapun
dampak atau hasil yang dapat dirasakan dengan adanya peraturan mengenai
Persyaratan Kesehatan Lingkungan No 1204/MENKES/SK/X/2009 masih harus dikaji
ulang, dimana beberapa pihak rumah sakit terkait yang memberikan wewenang
sepenuhnya kepada pihak kedua, hanya saja pihak kedua yang belum sepenuhnya
mentaati peraturan yang berlaku, sehingga perlu penegasan agar pihak yang
berperan merasa jera, serta outcome yang kita harapkan dapat berjalan
semestinya.
2.
Tujuan
Dengan
terbentuknya Peraturan Mengenai Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
penanggung jawab rumah sakityang bertanggung jawab terhadap pengelolaan
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yang telah diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI No/1204/MENKES/SK/X/2004 tujuan yang diharapkan denagn
terbentuknya peraturan ini supaya pihak terkait (stakeholder) memiliki batasan,
terhadap setiap keputusan yang diambi, agar tidak terulang kembali permasalahan
penanganan limbah medis seperti yang terjadi di
Kota Cirebon.
3.
Stakeholder yang melakukan
monitoring
Pengawasan/ monitoring terhadap penaatan izin pengelolaan limbah B3 sesuai
dengan Pasal 17 PermenLH no 18/2009 dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan/atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan pengawasan dilakukan
oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan/atau Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD).
Penyelenggaraan pengawasan
pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran
limbah B3 berdasarkan Pasal 23 PermenLH 30/2009, dilakukan oleh tim pengawas.
Tim pengawas terdiri atas keta tim dan paling sedikit satu orang anggota tim.
Ketua tim haruslah Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) yang
memenuhi persyaratan, begitu pula dengan anggota tim. Tim pengawas dalam melaksanakan
tugasnya wajib dilengkapi dengan surat tugas yang diterbitkan oleh kepala
instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup provinsi
atau kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugas pengawasannya, tim pengawas
berpedoman pada tata laksana pengawasan pengelolaan limbah B3 yang tercantum
dalam Lampiran VII dan tata laksana pengawasan pemulihan akibat pencemaran
limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII PermenLH Np 30/2009.
Pembinaan terhadap pelaksanaan
perizinan dan pengawasan pengelolaan limbah B3 serta pembinaan terhadap
pelaksanaan pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 di tingkat
provinsi dilakukan oleh Menteri. Sedangkan pembinaan di tingkat kabupaten/kota
dilakukan oleh Menteri dan/ atau guberbur.
Kewenangan
dalam Perizinan dan Pengawasan PLB3
|
Pengelolaan Limbah B3
|
Perizinan
|
Pengawasan
|
||||
|
Pusat
|
Provinsi
|
Kab/Kota
|
Pusat
|
Provinsi
|
Kab/Kota
|
|
|
Penyimpanan
|
v
|
v
|
v
|
v
|
||
|
Pengumpulan
|
v
|
v
|
v
|
v
|
v
|
v
|
|
Pengangkutan
|
v
|
v
|
v
|
v
|
||
|
Pemanfaatan
|
v
|
v
|
v
|
v
|
||
|
Pengolahan
|
v
|
v
|
v
|
v
|
||
|
Penimbunan
|
v
|
v
|
v
|
v
|
||
4. Variabel dan indikator
|
1.
Administrasi
kegiatan, yang
mencakup tiga
indikator
yakni:
|
2. Pelaksanaan
kegiatan, yang
mencakup
sembilan
indikator
yakni:
|
3.Hasil
kegiatan,
yang mencakup
tujuh
indikator
yakni:
|
4.Dampak
kegiatan, yang
mencangkup
lima
indikator
yakni:
|
|
1.1.Administrasi
perencanaan
kegiatan
|
2.1 Koordinasi
antar pihak
terkait dalam
pelaksanaan
kegiatan
|
3.1 Tingkat
ketercapaian
hasil
|
4.1
Kemandirian
|
|
1.2.Administrasi
pelaksanaan
kegiatan
|
2.2 Pendanaan
kegiatan
|
3.2 Manfaat
kegiatan bagi
sasaran
|
4.2 Percaya
diri
|
|
1.3.Administrasi
pelaporan
|
2.3
Partisipasi
peserta dalam
kegiatan
|
3.3 Tingkat
kepuasan
penerimaan
program
|
4.3 Gaya hidup
|
|
|
2.4 Sistem
monitoring dan
evaluasi
kegiatan
|
3.4 Persepsi
masyarakat
terhadap
kegiatan
|
4.4 Jaringan
Sosial
|
|
|
2.5
Penjadwalan
kegiatan
|
3.5 Persepsi
penyelenggaraan
kegiatan
|
4.5
Peningkatan
ekonomi
|
|
|
2.6 Rekruitmen
|
3.6
Keberlanjutan
dan
kelestarian
kegiatan
|
|
|
|
2.7
Sosialisasi
|
3.7
Permasalahan
yang muncul
akibat
penyelenggaraan
kegiatan
|
|
|
|
2.8 Training
|
|
|
|
|
2.9 Dukungan
fasilitas
|
|
|
Indikator-indikator
diatas dapat dijadikan sebagai tolak ukur ketercapaian pelaksansaan audit
sosial atas CSR. Adanya dimensi yang kemudian dipersempit dengan menggunakan
indikator. Diharapkan dengan adanya indikator-indikator diatas, proses audit
sosial dapat dijalankan sebagai alat atau standar untuk monitoring.
Auditor
membuat dan menetapkan skala prioritas keberpengaruhan indikator-indikator
tersebut pada proses audit dalam bentuk angka dengan interval 1 (satu) hingga
100 (seratus). Untuk mendapatkan hasil akhir dengan cara menjumlah seluruh
indikator yang telah dilakukan scoring kemudian dikali dengan bobot yang
telah ditetapkan. Setelah diperoleh hasil angka maka perlu dilakukan inteprestasi
angka tersebut.
Hasil
yang muncul berkisar antara kinerjanya berlangsung baik ataupun sangat buruk.
Maka berikut pendapat Pudji Muljono, Saharuddin, Martua Sihaloho (2007)
mengenai inteprestasi skor dengan kinerja program CSR sebagai berikut:
420-500 = kinerja program tergolong sangat baik
340-419 = kinerja program tergolong baik
260-339 = kinerja program tergolong sedang
180-259 = kinerja program tergolong buruk
100-179kinerja
program tergolong sangat buruk
5.
Sumber data
a.
Data dari Departemen Kesehatan
b.
Data Informasi yang berasal dari masyarakat
c.
Dokumen
6.
Metode
Metode yang
digunakan adalah Social Auditing dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Mengumpulkan bahan dan
mempersiapkan proses audit sosial;
b.
Menentukan tujuan
pelaksanaan audit sosial, membuat daftar stakeholder;
c.
Menentukan indikator yang akan digunakan untuk
mengukur performance lembaga;
d.
Mempersiapkan social
book-keeping, yakni informasi yang secara rutin dikumpulkan untuk
menggambarkan performance lembaga tersebut dalam kaitannya dengan
pencapaian tujuan sosial (social objectives);
e.
Mempersiapkan social
account, yakni dokumen yang dihasilkan dari proses social accocunting yang
mengukur performance lembaga kualitatif maupun kuantitatif;
f.
Menguraikan dan
menjabarkan informasi yang terdapat dalam social accounts dan mengadakan
wawancara dengan stakeholder;
g.
Menyusun laporan audit
sosial.
7.
Manfaat
a.
Memberikan informasi yg valid ttg
kinerja kebijakan, program & kegiatan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai
& kesempatan telah dapat dicapai dalam
penanganan sampah medis dan B3
b.
Memberikan sumbangan pada klarifikasi
& kritik terhadap nilai mendasari pemilihan tujuan & target
c.
Melihat peluang adanya alternatif
kebijakan, program, kegiatan yang lebih tepat, layak, efektif, efisien. Dalam penanganan sampah medis.
d.
Memberikan umpan balik terhadap
kebijakan, program dan proyek penanganan sampah medis
e.
Menjadikan kebijakan, program dan
proyek mampu mempertanggungjawabkan penggunaan dana publik demi keamanan lingkungan.
f.
Mambantu pemangku kepentingan
belajar lebih banyak mengenai kebijakan, program dan proyek penanganan sampah medis bersama pihak ketiga.
g.
Dilaksanakan berdasarkan kebutuhan
pengguna utama yang dituju oleh evaluasi penanganan
limbah B3
h.
Negosiasi antara evaluator and
pengguna utama yang dituju oleh evaluasi apabila
terdapat kesenjangan dengan apa yang telah tertuang dalam SOP yang menjadi
kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.
8.
Penyajian informasi
a.
Pelaporan dilaksanakan secara
berkala yaitu dilakukan setiap 3 bulan (triwulanan), dan 6 bulanan (semesteran)
atau tahunan.
b.
Pelaporan dilakukan secara
berjenjang, maksudnya penyampaian pelaporan dari unit kerja paling bawah sampai
pucuk pimpinan dalam penangan limbah medis dan B3 yang ada di lingkungan
masyarakat sebelum di musnahkan; dari penanggungjawab kegiatan kepada
penanggungjawab program, dan dari penanggungjawab program kepada pimpinan kementerian/lembaga; atau dari suatu tingkat
pemerintahan kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, hingga ke pusat. Untuk melakukan pemantauan secara berkala.
Fokus PP 39 tahun 2006 yaitu yang merupakan
pengendalian dan evaluasi untuk kegiatan Pemerintah Pusat, yang merupakan dana
Kementerian/Lembaga (pusat), dekonsentrasi (provinsi), dan tugas Pembantuan
(kabupaten/kota), jadi tidak memfokuskakan pada kegiatan daerah yang dibiayai
dana desentralisasi . Adapun pengendalian dan evaluasi menurut UU No. 25/2004
Tentang SPPN, Pasal 28:
a. Pengendalian
pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh masing-masing Kementerian/
Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah;
b. Menteri/
Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana
pembangunan dari masing-masing pimpinan Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja
Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Selanjutnya Pasal 29 UU No 25/2004 Tentang SPPN:
a. Pimpinan
Kementerian/ Lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan
Kementerian/ Lembaga periode sebelumnya;
b. Pimpinan
Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana
pembangunan Satuan Kerja Perangkat Daerah periode sebelumnya;
c. Menteri/
Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil
evaluasi pimpinan Kementerian/ Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
evaluasi Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
d. Hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi bahan bagi penyusunan
rencana pembangunan Nasional/ Daerah untuk periode berikutnya.
B.
Evaluasi
Secara umum evaluasi
kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan kesehatan
tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh
proses suatu kebijakan, Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk dapat
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Dilihat
dari implikasi hasil evaluasi bagi suatu program, pada analisis kebijakan yang
penulis angkat ini, penulis memakai jenis evaluasi formatif yang dimana
dilakukan untuk mendiagnosis suatu program atau kebijakan, yang hasilnya akan
digunakan untuk pengembangan atau perbaikan program. Biasanya formatif
dilakukan pada proses program atau kebijakan masih berjalan (Notoadmodjo:2011).
Terkait
kebijakan pemerintah dalam hal ini sesuai dengan KepMenKes RI
No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
(Pengelolaan Limbah Medis), dalam pelaksanaanya saat ini mengalami permasalahan
yang serius dengan ditemukannya penumpukan limbah rumah sakit di Kabupaten
Cirebon maupun kasus yang belum nampak di permukaan, dengan adanya masalah ini
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan dan pengawasan kebijakan dalam pengelolaan
limbah rumah sakit yang dilakukan pemerintah
belum berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Adji
Samekto, 2008, Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan, Genta Press, Yogyakarta
Chandra,B.
2007.
Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC
Undang-Undang
Lingkungan Hidup (UU RI Nomor 23 Tahun 1997)
Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004
Muchtar
M., Khair A., Noraida, 2016, Hukum Kesehatan Lingkungan (Kajian Teoritis Dan
Perkembangan Pemikiran), Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Sirait.,
A.A.F.D, Mulyadi., A, Nazriati., E, 2015, ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) GUNUNGTUA KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA PROPINSI
SUMATERA UTARA, Jurnal Ilmu Lingkungan : 9 (2)
Undang-Undang
No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
WHO,
2002, Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Suharto dan
Nurharjatmo, Wahyu, 2002, Kebijakan Publik, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Rahmat, Alyakin Dachi, 2017, Proses dan Analsisi Kebijakan Kesehatan
(Suatu Pendekatan Koseptual), Deepublish, Yogyakarta.
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. 2011. KESEHATAN
MASYARAKAT Ilmu &S Seni. Rineka Cipta. Jakarta
Muchtar, M., Khair Abdul, dan Noraida (2016). Hukum Kesehatan
Lingkungan (Kajian Teoritis Dan Perkembangan Pemikiran). Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar