SOAL UJIAN
SEMESTER I ANGKATAN XXVII
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
DOSEN : Petrus Soerjowinoto, S.H., M.Hum
Disusun
oleh:
Tiazh Oktaviani 17.C2.0020
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2018
HAK ASASI MANUSIA DALAM
PELAKSANAAN KELUARGA BERENCANA DI INDONESIA
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Ledakan
penduduk ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi.
Kondisi ini jelas menimbulkan dua sisi yang berbeda. Disatu sisi kondisi
tersebut bisa menjadi salah satu kekuatan yang besar untuk Indonesia. Tetapi di
satu sisi kondisi tersebut menyebabkan beban negara menjadi semakin besar.
Selain menjadi beban negara juga menimbulkan permasalahan lain. Banyaknya
jumlah penduduk yang tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang
mampu menampung seluruh angkatan kerja bisa menimbulkan pengangguran,
kriminalitas, yang bersinggungan pula dengan rusaknya moralitas masyarakat.
Keberadaan
manusia tidak dapat dipisahkan dengan hak asasi manusia
(HAM). HAM ada melekat pada manusia, apabila HAM dihilangkan berarti
hilanglah kemanusiaannya seorang manusia. Oleh karenanya,
HAM bersifat fundamental maka adanya merupakan keharusan, siapapun tidak dapat
mengganggu dan setiap orang harus memperoleh perlindungan HAM-nya.
Bagaimana ini kaitannya dengan kesehatan reproduksi. HAM yang kita kenal
sekarang berasal dari sejarah panjang berlatar belakang budaya barat, yang
muaranya pada Universal Declaration of Human Rights, yang
ditandatangani PBB pada 10 Desember 1948. Menjadi tonggak sejarah
perjuangan HAM yang diakui dan harus dilindungi oleh negara-negara
anggota PBB[1].
Perkembangannya,
HAM menjadikan kepatuhan bagi negara yang harus melindungi
semua rakyatnya. Hal ini menampakkan pada tata pergaulan antar
bangsa, HAM berposisi sebagai isu global, keberadaban suatu
bangsa atau negara diukur dari jaminan HAM terhadap warganya. Negara dengan
para penguasanya yang tidak memberikan perlindungan HAM atau justru melakukan
penindasan terhadap HAM dapat dikategorikan negara tak
beradab. Tren kekinian yang juga berentetan jauh kebelakang dengan
tradisi dan budaya masyarakat di negara-negara telah terjadi
diskriminasi ataupun dominasi dari sekelompok orang terhadap kelompok lainnya,
utamanya berkaitan dengan jenis–kelamin, sehingga menimbulkan penindasan dan
kesewenang-wenangan terhadap HAM, dan wanitalah yang
menjadi korban. Dalam hal ini terkait dengan masalah reproduksi pada wanita,
yang mengganggu atau merugikan kesehatannya, sehingga tidak ada
jaminan tentang hak-reproduksi. Kemudian, telah muncul berbagai upaya dan
perjuangan untuk menentang penindasan dan kesewenangan tersebut,
yakni perjuangan penyetaraan jender. Dalam konteks seperti itu,
menjadi penting pemahaman HAM yang akan dikaitkan dengan kesehatan reproduksi.
Secara
internasional upaya perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan telah diakui
dan dihargai dengan adanya instrumen hak reproduksi terhadap perempuan melalui
deklarasi pengkajian hak kesehatan reproduksi perempuan yakni Health
Rights of Women Assessment Instrument (HeRWAI) yakni
sebagai alat praktis untuk peneliti dengan menggunakan data yang ditemui
sebagai akibat dari pendekatan hak asasi manusia (perempuan) dalam praktek.
Melalui HeRWAI, secara internasional telah menempatkan masalah
hak reproduksi perempaun sebagai suatu strategi dan program secara
internasional untuk dapat dilindunginya secara internasional dan nasional[2]
Hak kesehatan reproduksi adalah hak asasi manusia yang seharusnya diperoleh
masyarakat khususnya akseptor Keluarga Berencana (KB) melalui pelayanan KB
berkualitas yang menjadi program pemerintah. Pelayanan berkualitas termasuk
kualitas medik, artinya menawarkan metode kontrasepsi yang cocok dengan
pelayanan yang tersedia, ditunjang dengan konseling yang tepat, dan tenaga
penyelenggaranya (provider) yang berkompeten secara teknis. Pelayanan juga
harus mengakomodasi harapan perempuan yang membutuhkan hubungan Interpersonal agar
dapat diketahui pandangan dan pendapat perempuan tersebut[3].
Program KB bertujuan mengendalikan fertilitas yang membutuhan metode
kontrasepsi yang berkualitas agar dapat meningkatkan kesehatan reproduksi dan
kesehatan seksual. Pelaksanaannya dipengaruhi sumberdaya pelaksanaan program
KB, cara pandang masyarakat sendiri terhadap kesehatan reproduksi dan pelayanan
KB, serta pemakaian alat kontrasepsi. Badan Kependudukan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) merupakan badan yang diberi tanggung jawab dalam pengaturan
laju pertambahan penduduk. BKKBN memiliki visi “Seluruh Keluarga Ikut KB” dan
misi baru BKKBN yaitu “Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera”.
Kementerian Kesehatan memiliki kewajiban menindak lanjuti tugas BKKBN dengan
memberikan pelayanan KB kepada masyarakat yang membutuhkan[4].
Konferensi Internasional tentang KB dan kependudukan di Kairo tahun 1994
menyetujui bahwa secara umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi
harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015. Hak reproduksi diurai dalam 12 hak
yaitu hak untuk hidup, mendapat kebebasan dan keamanan, kesetaraan dan
kebebasan dari diskriminasi, privasi, kebebasan berpikir, mendapat informasi
dan edukasi, memilih dan merencanakan berkeluarga, memutuskan memiliki anak,
pelayanan kesehatan, menikmati kemajuan iptek, kebebasan berserikat dan
berpartisipasi serta terbebas dari kesakitan dan kesalahan pengobatan (NFPA,
1995). Penggunaan alat kontrasepsi diperoleh melalui pelayanan yang
diselenggarakan oleh pelayanan KB baik pemerintah maupun swasta. Hasil survei
mini oleh BKKBN menunjukkan bahwa sumber pelayanan swasta lebih banyak
dilakukan akseptor di kota Malang dengan pembiayaan mandiri sedang di Kabupaten
Kotim pelayanan lebih banyak di peroleh dari pemerintah dengan pembiayaan
gratis.
Tujuan program KB bukan hanya sekadar mengendalikan jumlah penduduk, tetapi
juga membangun cara pandang masyarakat terhadap visi tersebut. Dukungan
kebijakan diharapkan sebagai pendorong pelayanan kesehatan reproduksi termasuk
di dalamnya Keluarga Berencana dan alat kontrasepsi. Landasan hukum yang
mengatur tentang kesehatan reproduksi dan KB di Indonesia tertuang dalam
berbagai peraturan perundang undangan yang terbaru diatur dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mulai berlaku pada tanggal
diundangkan 13 Oktober 2009. Pengaturannya terdapat dalam Bab VI Upaya
Kesehatan, Bagian Keenam dengan judul Kesehatan Reproduksi. Dimulai dengan
pasal 71 sampai pasal 77. Keluarga Berencana diatur secara khusus dalam
ketentuan pasal 78.
Pengaturan tentang hak reproduksi dan KB dalam Undang-undang No. 36
merupakan pengganti dari UU Kesehatan tahun 1992 yang telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Peraturan pelaksanaan dari UU Kesehatan tahun 1992
yang belum diganti dengan yang baru serta tidak bertentangan dengan Undang
Undang No. 36 Tahun 2009 masih tetap berlaku. Sesuai dengan ketentuan pasal 203
Undang undang No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Pada saat Undang undang ini
berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang Undang ini”. Pengaturan sedemikian bermaksud mencegah
kekosongan atau evakuman hukum. Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana
juga diatur dalam legislasi dan regulasi lain. BKKBN sebagai instansi non
departemen yang mengatur tentang organisasi dan tatakerja dalam Surat Keputusan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN No. 10/HK.010/B5/2001 Tahun
2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKKBN Pusat dan Surat Keputusan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN No. 74/HK.010/B5/2001 Tahun 2001
tentang Tata Kerja BKKBN Provinsi dan Kabupaten/Kota. Melalui penelitian dan
kajian implementasi kebijakan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pengambil kebijakan khususnya tentang informasi KB kepada akseptor.
Petugas kesehatan kurang memberikan informasi termasuk konseling kepada
klien sebelum dan sesudah menerima pelayanan KB. Sering kali konseling
diabaikan dengan berbagai alasan antara lain kurangnya waktu petugas. Padahal,
konseling yang baik memberi manfaat antara lain interaksi yang baik antara
petugas dengan klien sehingga tingkat hubungan dan kepercayaan semakin
meningkat disamping klien akan lebih mudah mematuhi nasihat petugas sebagaimana
temuan penelitian lain[5].
Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita mempunyai hak untuk memperoleh
pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang
sangat mendasar. Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari
bagi wanita yang tidak menginginkan kehamilannya karena adanya beberapa alasan
seperti kegagalan akibat penggunaan kontrasepsi, atau memang sengaja tidak
menggunakan kontrasepsi, kehamilan yang diakibatkan karena kekerasan seksual
seperti pemerkosaan.
Program Aksi ICPD Cairo secara specifik menyatakan bahwa aborsi tidak harus
digunakan sebagai metode KB. Bagaimanapun juga ketika wanita tidak mempunyai
akses untuk mendapatkan metode KB yang sesuai dan tersedia dan tidak mampu
membayar, maka banyak orang yang menggunakan aborsi sebagai metode untuk
mengatur kelahiran.
Unmet need adalah konsep yang diperkenalkan pertama kali oleh Westoff dan
Pebly (1981) yaitu istilah bagi "kelompok wanita yang sud ah tidak ingin punya anak lagi tetapi tidak
menggunakan alat kontrasepsi". Angka unmet need yang tinggi menunjukkan
bahwa ada kemungkinan pelayanan KB pada sebagian masyarakat tidak terpenuhi.
Hasil FGD di kota Malang dengan kelompok ibu-ibu unmet need menunjukkan bahwa cukup banyak
wanita tidak ber KB karena rendahnya pengetahuan tentang KB akibat kurangnya
penjelasan dari petugas kesehatan ataupun PLKB. Alasan tidak mengikuti program
KB karena pengetahuan kurang serta mendapat informasi pemecahan masalah KB yang
tidak tepat menyebabkan ketakutan kepada calon akseptor.
Keluarga
berencana adalah suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah anak
dan jarak kehamilan dengan memakai alat kontrasepsi. Keluarga Berencana yaitu
membatasi jumlah anak dimana dalam satu keluarga hanya diperbolehkan memiliki
dua atau tiga anak saja. Keluarga berencana yang diperbolehkan adalah suatu
usaha pengaturan atau penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan
sementara atas kesepakatan suami istri karena situasi dan kondisi tertentu
untuk kepentingan keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan demikian KB
disini mempunyai arti yang sama dengan pengaturan keturunan. Penggunaan istilah
keluarga berencana juga sama artinya dengan istilah yang umum dipakai di dunia
internasional yakni family planning atau planned parenthood, sepert yang
digunakan oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) nama sebuah
organisasi KB internasional yang berkedudukan di London. KB juga berarti suatu
tindakan perencanaan pasangan suami istri untuk mendapatkan kelahiran yang
diinginkan, mengatur interval kelahiran dan menentukan jumlah anak sesuai
dengan kemampuan serta sesuai dengan situasi masyarakat dan negara. Dengan
demikian KB berbeda dengan birth control yang artinya pembatasan atau
penghapusan kelahiran. Istilah birth control dapat berkonotasi negatif karena
bisa berarti aborsi atau sterilisasi (pemandulan)[6].
Perencanaan
keluarga merujuk kepada pengguanaan metode-metode kontrasepsi oleh suami istri
atas persetujuan bersama diantara mereka, untuk mengatur kesuburan mereka
dengan tujuan untuk menghindari kesulitan kesehatan, kemasyarakatan dan ekonomi
dan untuk memungkinkan mereka memikul tanggung jawab terhadap anak-anaknya dan
masyarakat. Ini meliputi hal-hal sebagai berikut[7]
:
1. Menjarangkan anak untuk memungkinkan penyususan daan penjagaan kesehatan
ibu dan anak
2. Pengaturan masa hamil agar terjadi pada waktu yag aman
3. Mengatur jumlah anak, bukan saja untuk keperluan keluarga malainkan juga
untuk kemampuan fisik, financial, pendidikan dan pemeliharaan anak
Kelebihan dari program KB disini antara lain
sebagai berikut :
1. Mengatur angka kelahiran dan jumlah anak dalam keluarga serta membantu
pemerintah mengurangi resiko ledakan penduduk atau baby boomer
2. Penggunaan kondom akan membantu mengurangi resiko penyebaran penyakit
menular melalui hubungan seks
3. Meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sebab, anggaran keuangan
keluarga akhirnya bisa digunakan untuk membeli makanan yang lebih berkualitas
dan bergizi
4. Menjaga kesehatan ibu dengan cara pengaturan waktu kelahiran dan juga
menghindarkan kehamilan dalam waktu yang singkat.
5. Mengkonsumsi pil kontrasepsi dapat mencegah terjadinya kanker uterus dan
ovarium. Bahkan dengan perencanaan kehamilan yang aman, sehat dan
diinginkan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya menurunkan angka
kematian maternal.
Program Keluarga Berencana ini dapat memberikan keuntungan ekonomi dan
kesehatan Keluarga Berencana memberikan keuntungan ekonomi pada pasangan suami
istri, keluarga dan masyarakat Dengan demikian, program KB menjadi salah satu
program pokok dalam meningkatkan status kesehatan dan kelangsungan hidup ibu,
bayi, dan anak. Program KB menentukan kualitas keluarga, karena program ini
dapat menyelamatkan kehidupan perempuan serta meningkatkan status kesehatan ibu
terutama dalam mencegah kehamilan tak diinginkan, menjarangkan jarak kelahiran
mengurangi risiko kematian bayi. Selain memberi keuntungan ekonomi pada
pasangan suami istri, keluarga dan masyarakat, KB juga membantu remaja
mangambil keputusan untuk memilih kehidupan yang lebih baik dengan merencanakan
proses reproduksinya.
Keterkaitan
Hak Asasi Manusia dalam program keluarga berencana di Indonesia
Kesehatan reproduksi yang
salah satunya terkait dengan Keluarga Berencana (KB) adalah keadaan
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh, dan bukan hanya tidak adanya
penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya[8].
Dapat
dipahami bahwa kesehatan reproduksi berarti bahwa orang dapat mempunyai
kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan mereka memiliki
kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan keinginannya, kapan
dan frekuensinya. Dalam hal terakhir termasuk, hak pria dan wanita untuk memperoleh
informasi dan mengakses terhadap cara-cara KB yang aman, efektif, terjangkau,
dan dapat diterima sebagai pilihannya, serta metoda-metoda lain yang
dipilih yang tidak melawan hukum, dan hak untuk memperoleh pelayanan
pemeliharaan kesehatan yang tepat, yang memungkinkan para
wanita mengandung dan melahirkan anak dengan selamat, serta kesempatan
memiliki bayi yang sehat (ICPD-Kairo, 1994). Membicarakan
kesehatan reproduksi tak terpisahkan dengan soal hak reproduksi, kesehatan
seksual, dan hak seksual.
Hak
reproduksi adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap pasangan
dan individual untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung-jawab jumlah,
jarak, dan waktu kelahiran anak, serta untuk memiliki informasi dan cara-cara
untuk melakukannya. Kesehatan seksual yaitu suatu keadaan agar
tercapai kesehatan reproduksi yang mensyaratkan bahwa kehidupan seks seseorang
itu harus dapat dilakukan secara memuaskan dan sehat dalam arti terbebas dari
penyakit dan gangguan lainnya. Terkait dengan
ini adalah hak seksual, yakni bagian dari hak asasi manusia
untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab terhadap semua hal yang
berhubungan dengan seksualitas, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi,
bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Pengaturan HAM Yang
Terkait Dengan Kesehatan Reproduksi dan KB adalah :
1.
Deklarasi Universal HAM 1948 :
a.
Hak kebebasan mencari jodoh dan
membentuk keluarga,
b.
Perkawinan harus dilaksanakan atas dasar
suka sama suka (Pasal 16).
c.
Hak kebebasan atas kualitas hidup untuk jaminan
kesehatan dan keadaan yang baik untuk dirinya dan keluarganya (Pasal 25)[9]
2.
UU No. 7 Tahun 1984 (Konvensi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita):
a.
Jaminan persamaan hak atas jaminan
kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi
melanjutkan keturunan (Pasal 11 ayat 1 f).
b.
Jaminan hak efektif untuk bekerja tanpa
diskriminasi atas dasar perkawinan atau kehamilan (Pasal 11 ayat 2).
c.
Penghapusan diskriminasi di bidang
pemeliharaan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan
KB (Pasal 12).
d.
Jaminan hak kebebasan wanita pedesaan
untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai,
termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan KB (Pasal
14 ayat 2 b).
e.
Penghapusan diskriminasi yang
berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan
antara pria dan wanita (Pasal 16 ayat 1)[10]
3.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
a.
Setiap orang berhak membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah (Pasal 10).
b.
Setiap orang berhak atas pemenuhan
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 11).
c.
Setiap orang berhak atas rasa
aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30).
d.
Hak wanita dalam UU HAM sebagai
hak asasi manusia (Pasal 45).
e.
Wanita berhak untuk
mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan / profesinya
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya
berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita (Pasal 49 ayat 2).
f.
Hak khusus yang melekat pada diri wanita
dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum (Pasal 49
ayat 3).
g.
Hak dan tanggungjawab yang
sama antara isteri dan suaminya dalam ikatan perkawinan (Pasal 51 )[11].
Sesungguhnya
gerakan feminisme bukanlah gerakan semata-mata menyerang laki-laki,
tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, serta
citra patriarkal bahwa perempuan itu pasif, tergantung dan inferior. Sehingga,
transformasi gender sebagai jalan menuju transformasi sosial yang lebih luas,
harus merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk
ketidakadilan, penindasan, dominasi dan diskriminasi, sebagai hubungan yang
saling terkait, yang meliputi hubungan ekonomi, sosial, kultural,
ideologi, lingkungan dan termasuk hubungan antara laki-laki dan perempuan. Yang
menjadi subtansi HAM : hak untuk hidup, hak berkeluarga dan hak melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan[12].
Menurut
UU HAM, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan kebebasan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia (Pasal 1 butir 1). Sehubungan dengan
ketidak-adilan jender dengan manifestasi : marjinalisasi, subordinasi,
stereotipe, multi beban wanita merupakan tindakan pengabaian
dan memandang rendah HAM sebagai kategori diskriminasi.
Antidiskriminasi dalam pemberlakuan HAM, yakni ditentukan bahwa
setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, merupakan asas dasar dalam HAM.
Berdasarkan
hasil konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo
tahun 1994 ada 12 macam hak reproduksi bagi pria maupun wanitaHak untuk
menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran. HAK ke empat dinyatakan : Setiap
orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimiliki serta jarak kelahiran
yang diinginkan. Dalam konteks dengan program KB dan Kesehatan Reproduksi,
pemerintah dan masyarakat tidak boleh melakukan pemaksaaan jika seseorang
ingin memiliki anak dalam jumlah yang besar dengan tidak ikut menggunakan alat
kontrasepsi, yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman
sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai untung ruginya memiliki jumlah
anak banyak ditinjau dari berbagai aspek ekonomi, pendidikan, dan sosial, sehingga
kemudian mereka akan menentukan memiliki jumlah anak yang ideal[13].
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita seharusnya menjadi landasan dalam pelaksanaan Keluarga
Berencana di Indonesia. Dalam Pasal 12 dinyatakan: Penghapusan diskriminasi di
bidang pemeliharaan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan
termasuk pelayanan KB. Pasal 14 ayat 2 b dinyatakan :
Jaminan hak kebebasan wanita pedesaan untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan
kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan
pelayanan KB.
Program Keluarga Berencana ini dapat memberikan keuntungan ekonomi dan
kesehatan Keluarga Berencana memberikan keuntungan ekonomi pada pasangan suami
istri, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, program KB menjadi salah satu
program pokok dalam meningkatkan status kesehatan dan kelangsungan hidup ibu,
bayi, dan anak. Program KB menentukan kualitas keluarga, karena program ini
dapat menyelamatkan kehidupan perempuan serta meningkatkan status kesehatan ibu
terutama dalam mencegah kehamilan tak diinginkan, menjarangkan jarak kelahiran
mengurangi risiko kematian bayi. Selain memberi keuntungan ekonomi pada
pasangan suami istri, keluarga dan masyarakat, KB juga membantu remaja
mangambil keputusan untuk memilih kehidupan yang lebih baik dengan merencanakan
proses reproduksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bari Saifuddin A. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo BKKBN, 2010. Rencana
Stategis Pembangunan Kependudukan dan KB 2010–2014. Jakarta: BKKBN.
BKKBN. 2010. Pedoman Pelaksanaan Keluarga Berencana Mandiri. Jakarta:
BKKBN.
BKKBN. 2010. Survei Mini 2010. Jakarta: BKKBN.
BPS dan Macro International, 2008. Survei Demografi dan kesehatan Indonesia
2007.
Handayani L, et al, 2011. Kajian Undang-undang no. 36 Tahun 2009 terkait
Program KB Berkualitas dalam Mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan
Sejahtera. Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat.
Indonesia. 1992. Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN.
Indonesia. 2004. Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemeritah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah.
Indonesia. 2009. Undang Undang Nomer 36 tentang Kesehatan tahun 2009.
Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Jakarta: BKKBN.
Indonesia. 2010. Rencana pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2005–2025.Jakarta:
Indonesia, 2010. Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2010 Tentang Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
UNFPA, 1995. Programme of action. The International Conference on
Population and Development, Cairo, 5–13 September 1994.,Diakses tanggal 18
April 2018 http://www.unfpa.org/public/home/sitemap/ icpd/International-Conference-on-Population-and-Development
Agnes,Widanti,
2005, Hukum Berkeadilan Gender, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Kementerian
Kesehatan. Pedoman Pencatatan dan Pelaporan Keluarga Berencana,Upaya Menuju
Pelayanan KB Berkualitas. Jakarta, 2012.
Pedoman
Kebijakan Tehnis Upaya Promosi Dan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi”http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/
pkkebijakanteknisprogremhr.html diakses tanggal 19
april 2018
Prawirohardjo,
Sarwono. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
Rokhmad,
A (2005) ”HAM Dan Demokrasi di Era Globalisasi”. Jurnal Hukum Vol XV
No.3 Desember 2005, FH Unisula, Semarang.
[1] Pedoman Kebijakan
Tehnis Upaya Promosi Dan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi”http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/pkkebijakanteknisprogremhr.html// diakses tanggal 19 April 2018.
[2] Rokhmad, A (2005) ”HAM
Dan Demokrasi di Era Globalisasi”. Jurnal Hukum Vol XV No.3 Desember 2005,
FH Unisula, Semarang.
[6] Kementerian
Kesehatan. Pedoman Pencatatan dan Pelaporan Keluarga Berencana, Upaya
Menuju Pelayanan KB Berkualitas. Jakarta, 2012.
[7] Kementerian
Kesehatan. Pedoman Pencatatan dan Pelaporan Keluarga Berencana,Upaya Menuju
Pelayanan KB Berkualitas. Jakarta, 2012.
[8] Pedoman Kebijakan
Tehnis Upaya Promosi Dan Pemenuhan Hak-hak Reproduksi”http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ceria/pengelolaceria/
pkkebijakanteknisprogremhr.html diakses tanggal 19 April 2018
[9] Deklarasi Universal
HAM 1948
[10] UU No. 7 Tahun
1984 Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita:
[11] UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM
[12] Agnes,Widanti, 2005, Hukum
Berkeadilan Gender, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
[13] Prawirohardjo,
Sarwono. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar