Minggu, 29 April 2018

PENEGAKAN HUKUM KESEHATAN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)



TUGAS
PENEGAKAN HUKUM KESEHATAN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

Dosen pengampu : Valentinus Suroto, SH., M.Hum.






DISUSUN OLEH :
RIZKY NUGROHO                          17.C2.0013
NUR AZIZAH                                   17.C2.0014
TIAZH OKTAVIANI                                    17.C2.0020




PROGRAM PASCA SARJANA HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pesatnya perkembangan ekonomi nasional telah menghasilkan deservifikasi produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi oleh masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/jasa hingga melintasi batas-batas wilayah satu negara. Kondisi yang demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhan akan barang dan/jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan memilih aneka jenis kualitas barang dan/jasa sesuai dengan kemampuannya. Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat menjadikan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen cenderung dijadikan obyek aktifitas bisnis dari pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah. Hal yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu kehadiran undang-undang perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum kuat bagi pemerintahan dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak dan kewajiban pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan didasari dengan adanya hubungan hukum antara pasien dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah dokter.(Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 29 ). Haruslah disadari bahwa pada dasarnya pasien selaku konsumen pelayan medis sering kali dalam posisi lemah. Beberapa dekade ini hubungan antara rumah sakit dan dokter selaku produsen jasa layanan kesehatan dengan pasien selaku konsumen belumlah harmonis, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus malpraktek yang marak terjadi sejak 2006 hingga 2015 terdapat 317 kasus dugaan malpraktek yang dilaporkan ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), ada 114 kasus dugaan ditujukan ke dokter umum, 76 kasus ditujukan ke dokter spesialis bedah, 55 kasus ditujukan ke dokter spesialis kandungan dan 27 kasus kepada dokter spesialis anak (https://canindonesia.com/2017/12/dokter-malpraktek-dan-perlakuan-hukum/).
Oleh sebab itu, masyarakat terutama yang terkena kasus atau keluarganya yang terkena kasus tersebut mengajukan tuntutan hukum. Tindakan tersebut adalah bagus kalau dilakukan secara proporsional, ini menunjukan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Hal ini menunjukan pula adanya kesadaran masyarakat untuk mengetahui hak-hak pasien yang dimilikinya selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan (Gede Ni Luh dan Made Emy, 2013,  Perlindungan Hukum Bagi Pasien Selaku Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan Yang Mengalami Malpraktek)
Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan mengaju kepada ketentuan yang berlaku dalam pengadilan umum dengan memperhatikan ketentuan pasal 45 UUPK. Penyelesaian sengketa luar pengadilan dapat dilakukan dengan manfaatkan badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).

B.     RUMUSAN MASALAH
Bagaimana peran dan fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam penegakan hukum kesehatan?

C.     MANFAAT
1.      Bagi mahasiswa Hukum Kesehatan
Hasil makalah ini dapat dijadikan masukan atau bacaan bagi mahasiswa Hukum Kesehatan dalam menambah wawasan, khususnya mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
2.      Bagi pelaku bisnis
Diharapkan dari makalah ini dapat menjadi masukan pada pelaku bisnis  dalam memberikan  produk barang dan/atau jasa.
3.      Bagi konsumen
Makalah ini diharapkan dapat menambah informasi dan masukan tentang hukum melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

























BAB II
PEMBAHASAN

Secara harafiah arti consumer itu adalah “(Iawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen”.
Black's Law Dictionary memberikan pengertian konsumen adalah sebagai berikut: “Consumer is Individllals who purchase, use, maintain, and dispose of products and services”. Yang artinya bahwa Konsumen adalah “mereka yang berperan sebagai pembeli, pengguna, pemelihara dan pembllat barang danlatau jasa”.
Sedangkan untuk pelaku usaha, masyarakat umum biasanya menyebutnya dengan sebutan produsen. Kadang-kadang mereka mengartikan produsen sebagai pengusaha, namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa produsen hanya penghasil barang saja dan merupakan salah satu unsur dari pengusaha.
Hak dan kewajiban pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan didasari dengan adanya hubungan hukum antara pasien dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah dokter. Hubungan antara pasien dengan dokter maupun rumah sakit adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Dasar dari perikatan yang berbentuk antara dokter pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang.7 Perikatan antara rumah sakit/dokter dan pasien dapat diartikan sebagai perikatan usaha (inspanning verbintenis) atau perikatan hasil (resultaats verbintenis) (Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 29.)
Perjanjian yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian (transaksi) teraupetik. Transaksi teraupetik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam transaksi teraupetik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yakni dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis (Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 29.)
Dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum (Sudikno Martokusumo, 1999, Mengenai Hukum : Suatu Pengantar , Liberty, Yogyakarta, hal. 24).
 Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti penelantaran. Pasien yang berhak atas keselamatan dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterimanya. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatan. Hak pasien lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar dan mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada dokter atau pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan rumah sakit dalam pelayanannya. Selain itu konsumen berhak untuk memilih dokter yang diinginkan dan berhak untuk mendapatkan opini kedua (second opinion) juga mendapatkan rekam medik (medical record) yang berisikan riwayat penyakit dirinya (Titik Triwulan dan Shita Febriana, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 31  )
Pada makalah ini kami mengangkat sebuah kasus di Jawa Barat nita berinisial TN (37) mengalami keguguran dan harus dikuret. Pada saat akan operasi wanita tersebut disuntik sampai 4 kali, alasannya suntikan pertama tidak berpengaruh, jadi harus disuntik lagi. Usai menjalani operasi, dia merasakan sakit dibagian pergelangan tangan bekas suntikan. Saat menanyakan hal itu kepada perawat, TN diminta untuk mengompresnya dengan boorwater atau cairan pendingin. Padahal cairan kompres itu sudah tidak dijual lagi di apotek sejak tahun 1999 karena memang pada bagian luar membuat dingin, tapi bisa merusak bagian jaringan di dalamnya. Semakin hari pergelangan tangannya semakin parah hingga pada Selasa dokter menyarankan agar jari telunjuk dan ibu jari tangan sebelah kanannya harus segera diamputasi. Sebab jaringan dalam pergelangan tangannya sudah mati. Karena merasa terdapat keganjilan, TN pun melaporkan kasus tersebut ke BPSK dengan didampingi Ketua YLKI Firman Turmantara (https://jabar.antaranews.com/berita/62448/seorang-wanita-datangi-bpsk-laporkan-dugaan-malpraktek).
Permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Jalur litigasi melalui jalur perdata atau pidana.. Jalur non litigasi dengan mengadukan kasusnya melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Namun apabila suatu kasus diduga malpraktek medik diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang-Undang tentang Praktek Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert witness testimonum) apabila diperlukan sebagaimana lazimnya juga di luar negeri (Ari Yunanto dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktik Medik, CV.Andi, Yogyakarta, h. 87).
Untuk mengatasi kerumitan proses peradilan, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pasal 45 ayat (4) mengatur, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Ini berarti penyelesaian pengadilan pun tetap terbuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.
Tafsir yang lebih jauh dari ketentuan pasal tersebut, bahwa : (1) penyelesaian di luar pengadilan merupakan upaya perdamaian diantara pihak yang bersengketa dan (2) penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui suatu badan independen seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika penyelesaian melalui BPSK maka salah satu pihak tidak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Artinya bahwa mereka terikat untuk menempuh proses penyelesaian sampai saat penjatuhan putusan.
Salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 23, menjelaskan bahwa apabila pelaku usaha menolak dan atau tidak memberikan tanggapan dan atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Di sini terlihat bahwa UUPK memberikan alternatif penyelesaian melalui BPSK serta melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melalui tempat kedudukan konsumen (Ni Luh).
1.      Dasar Hukum BPSK
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bab XI pasal 49 sampai dengan pasal 58. Pada pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (small claim court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari kerja ( lihat pasal 55 UU. No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ), dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan ( lihat pasal 56 dan 58 UU. No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ), sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan. Keanggotaan BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh 3-5 orang, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5)).
2.      Tugas dan wewenang
Tugas dan wewenang BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 52 meliputi:
a.       melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.      memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.       melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.      melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
e.       menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.       melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g.      memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
h.      meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
i.        mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
j.        memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
k.      memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
l.        menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI telah mengeluarkan SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang (Pasal 4). Metode penyelesaian kasus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha ada tiga yaitu konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
3.      Prosedur
Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas/dokumen yang mendukung pengaduannya .
Pihak-pihak yang berperkara di BPSK tidak dikenai biaya perkara alias gratis. Sementara biaya operasional BPSK ditanggung APBD. Selain bebas biaya, prosedur pengaduan konsumen pun cukup mudah, yaitu hanya membawa barang bukti atau bukti pembelian/pembayaran, dan kartu identitas (KTP). Formulir pengaduan disediakan di sekretariat BPSK. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam Prasidang.
Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:
a.       Konsiliasi: usaha perdamaian antara dua pihak. Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif.
b.      Mediasi: negosiasi yang dimediasi oleh BPSK. Kedua belah pihak melakukan musyawarah dengan keikutsertaan aktif majelis hakim BPSK, termasuk memberikan penetapan.
c.       Arbitrase: kedua belah pihak menyerahkan sepenuhnya kepada arbiter. Konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK.
4.      Penyelesaian
Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal. Proses dikeluarkannya putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dilakukan dengan tahapan, yaitu :
a. Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat;
b. Maksimal jika hal itu telah diusahakan (dengan Sunguh-sunguh), ternyata tidak tercapai mufakat, maka putusan dilakukan dengan cara Voting/suara terbanyak.
Amar`putusan Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK)
terbatas pada 3 alternatif, yaitu :
a. Perdamaian;
b. Gugatan ditolak;
c. Gugatan dikabulkan.
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi dan atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (Pasal 40)
Menurut ketentuan pasal 56 ayat (2) UUPK, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini karena di dalam pasal 41 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa konsumen dan pelaku usaha yang bersengeketa wajib menyatakan menerima atau menolak Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dengan demikian jika para pihak menolak hasil dari putusan, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Negeri.
Dalam hal pelaku usaha menerima (menyetujui atau sependapat) diktum (amar, isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika pelaku usaha tidak menggunakan upaya keberatan atau upaya hukum, maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi berkekuatan tetap. Dengan begitu, jika tidak dilaksanakannya putusan tersebut, apalagi setelah diajukan Fiat eksekusi berdasarkan Pasal 57
UUPK, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen (Taufik Yahya, 2014, Peran Penting Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Rangka Perlindungan Hak-Hak Konsumen)







BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
Eksistensi dari lembaga BPSK. Pertama, pertanyaan mendasar adalah apakah BPSK merupakan lembaga yang masuk dalam domain pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Jawaban terhadap hal ini dalam prakteknya tidak sarna. Oleh karena itu, ada BPSK yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah dan ada BPSK yang kurang mendapat dukungan Pemerintah Daerah. Kedua, persoalan yang krusial adalah menyangkut tugas dan kewenangan BPSK. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putusan BPSK bersifat “final dan mengikat”. Putusan ini menjadi kehilangan makna dan menjadi tidak berarti bagi konsumen yang mencari keadilan melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (2) dimana terbukanya peluang mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, dan ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai permintaan eksekusi putusan BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Meskipun secara formil BPSK sudah didirikan di beberapa wilayah, tetapi ternyata hingga kini yang aktif hanya ada di 8 kota, yaltu Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Malang. Berdasarkan hal tersebut, maka hal ini menjadi indikasi lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan hukum perlindungan konsumen. Keberadaan BPSK di setiap kota dan/atau kabupaten merupakan amanat perundang-undangan. Konsumen yang berada di daerah kota dan/atau kabupaten akan mangalami kesulitan untuk meminta perlindungan hak-hak sebagal konsumen karena tidak adanya BPSK. Walaupun sebenamya melalui pengadilan negeri sengketa konsumen dapat diselesaikan. Akan tetapi pada umumnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama.


B.     SARAN
Melihat beberapa persoalan yang ada dalam UUPK, penulis menyarankan agar UUPK dilakukan revisi agar kedepan lebih memberikan kepastian hukum pada konsumen maupun pelaku usaha. Pemeintah hendaknya memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) pada sekretariat BPSK mengingat tugas-tugas dari BPSK yang begitu luas. Di samping itu pemerintah juga hendaknya memberikan anggaran yang cukup pada BPSK karena salah satu kendala pelaksanaan tugas BPSK adalah karena faktor anggaran. Selain itu seiring perkembangan teknologi medis diharapkan pula dapat dibentuknya suatu peraturan hukum yang komprehensif yang khusus mengatur mengenai hukum kesehatan ini, sehingga diharapkan masyarakat pun lebih dapat memahami hak-hak yang mereka miliki sebagai pasien yang menggunakan jasa pelayan kesehatan dan juga sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kesehatan agar dapat meminimalisir terjadinya kasus-kasus kelalaian medik dan malpraktek di Indonesia. Diharapkan juga terjadi harmonisasi antara peraturan hukum pidana dan perdata dengan kode etik tenaga kesehatan sehingga dalam penyelesaian sengketa kasus malpraktek tidak terjadi kerancuan dalam proses penyelesaian suatu kasus malpraktek melainkan dapat saling melengkapi sehingga kasus malpraktek dapat terselesaikan dengan baik.
















DAFTAR PUSTAKA

Buku
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000.
_______, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2006.
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju,Ctk Pertama, Bandung, 2001

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Artikel, Majalah, Website
adan Pusat Statistik. 2014. Anggaran Pendapatan Negara. Jakarta. Di akses dari www.bps.go.id pada tanggal 30 Oktober 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar