TUGAS
PENEGAKAN
HUKUM KESEHATAN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
Dosen
pengampu : Valentinus Suroto, SH., M.Hum.

DISUSUN
OLEH :
RIZKY
NUGROHO 17.C2.0013
NUR
AZIZAH 17.C2.0014
TIAZH
OKTAVIANI 17.C2.0020
PROGRAM PASCA SARJANA HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Pesatnya perkembangan ekonomi
nasional telah menghasilkan deservifikasi produk barang dan/atau jasa yang
dapat di konsumsi oleh masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
komunikasi dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi
barang dan/jasa hingga melintasi batas-batas wilayah satu negara. Kondisi yang
demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena
kebutuhan akan barang dan/jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin
terbuka lebar kebebasan memilih aneka jenis kualitas barang dan/jasa sesuai
dengan kemampuannya. Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut dapat
menjadikan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen
cenderung dijadikan obyek aktifitas bisnis dari pelaku usaha untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen
Faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih
rendah. Hal yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu
kehadiran undang-undang perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum kuat bagi pemerintahan dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
Hak dan kewajiban pasien selaku konsumen
jasa pelayanan kesehatan didasari dengan adanya hubungan hukum antara pasien
dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah dokter.(Wila
Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal.
29 ). Haruslah disadari bahwa pada dasarnya pasien selaku konsumen pelayan
medis sering kali dalam posisi lemah. Beberapa dekade ini hubungan antara rumah
sakit dan dokter selaku produsen jasa layanan kesehatan dengan pasien selaku
konsumen belumlah harmonis, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus
malpraktek yang marak terjadi sejak 2006 hingga 2015 terdapat 317 kasus dugaan
malpraktek yang dilaporkan ke Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), ada 114 kasus
dugaan ditujukan ke dokter umum, 76 kasus ditujukan ke dokter spesialis bedah,
55 kasus ditujukan ke dokter spesialis kandungan dan 27 kasus kepada dokter
spesialis anak (https://canindonesia.com/2017/12/dokter-malpraktek-dan-perlakuan-hukum/).
Oleh sebab itu, masyarakat
terutama yang terkena kasus atau keluarganya yang terkena kasus tersebut
mengajukan tuntutan hukum. Tindakan tersebut adalah bagus kalau dilakukan
secara proporsional, ini menunjukan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
hukum kesehatan. Hal ini menunjukan pula adanya kesadaran masyarakat untuk
mengetahui hak-hak pasien yang dimilikinya selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan
(Gede Ni Luh dan Made Emy, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Pasien Selaku
Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan Yang Mengalami Malpraktek)
Sengketa konsumen dapat
diselesaikan melalui pengadilan ataupun pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
dari para pihak. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan mengaju kepada
ketentuan yang berlaku dalam pengadilan umum dengan memperhatikan ketentuan
pasal 45 UUPK. Penyelesaian sengketa luar pengadilan dapat dilakukan dengan
manfaatkan badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
B.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana
peran dan fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam penegakan
hukum kesehatan?
C.
MANFAAT
1.
Bagi mahasiswa
Hukum Kesehatan
Hasil makalah ini dapat dijadikan
masukan atau bacaan bagi
mahasiswa Hukum Kesehatan dalam menambah wawasan,
khususnya mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
2.
Bagi pelaku
bisnis
Diharapkan dari makalah ini dapat menjadi masukan pada pelaku
bisnis dalam memberikan produk
barang dan/atau jasa.
3.
Bagi konsumen
Makalah ini diharapkan
dapat menambah informasi dan masukan
tentang hukum melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
BAB II
PEMBAHASAN
Secara harafiah arti consumer
itu adalah “(Iawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”.
Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus bahasa Inggris-Indonesia
memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen”.
Black's Law Dictionary
memberikan pengertian konsumen adalah sebagai berikut: “Consumer is Individllals
who purchase, use, maintain, and dispose of products and services”. Yang artinya bahwa Konsumen adalah
“mereka yang berperan sebagai pembeli, pengguna, pemelihara dan pembllat barang
danlatau jasa”.
Sedangkan untuk pelaku usaha,
masyarakat umum biasanya menyebutnya dengan sebutan produsen. Kadang-kadang
mereka mengartikan produsen sebagai pengusaha, namun ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa produsen hanya penghasil barang saja dan merupakan salah satu
unsur dari pengusaha.
Hak dan kewajiban pasien
selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan didasari dengan adanya hubungan hukum
antara pasien dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah
dokter. Hubungan antara pasien dengan dokter maupun rumah sakit adalah apa yang
dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Dasar dari perikatan yang
berbentuk antara dokter pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja
terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang.7 Perikatan antara rumah
sakit/dokter dan pasien dapat diartikan sebagai perikatan usaha (inspanning
verbintenis) atau perikatan hasil (resultaats verbintenis) (Wila
Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal.
29.)
Perjanjian yang dikenal dalam
bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian (transaksi) teraupetik. Transaksi
teraupetik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum
yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian
ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Sebagaimana
umumnya suatu perikatan, dalam transaksi teraupetik juga terdapat para pihak
yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yakni dokter
sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien
sebagai pihak yang menerima pelayanan medis (Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum
Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 29.)
Dalam pengertian hukum, hak
adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri
berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum (Sudikno
Martokusumo, 1999, Mengenai Hukum : Suatu Pengantar , Liberty,
Yogyakarta, hal. 24).
Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki
perlindungan diri dari kemungkinan upaya pelayanan kesehatan yang tidak
bertanggung jawab seperti penelantaran. Pasien yang berhak atas keselamatan dan
kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterimanya. Dengan hak
tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam
keselamatan atau kesehatan. Hak pasien lainnya sebagai konsumen adalah hak
untuk didengar dan mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang didapatkan
tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan
keluhannya kepada dokter atau pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan rumah
sakit dalam pelayanannya. Selain itu konsumen berhak untuk memilih dokter yang
diinginkan dan berhak untuk mendapatkan opini kedua (second opinion) juga
mendapatkan rekam medik (medical record) yang berisikan riwayat penyakit
dirinya (Titik Triwulan dan Shita Febriana, 2010, Perlindungan Hukum Bagi
Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 31
)
Pada makalah ini kami mengangkat sebuah
kasus di Jawa Barat tanggal 5 April 2017, Wanita
berinisial TN (37) mengalami keguguran dan harus dikuret. Pada saat akan
operasi wanita tersebut disuntik sampai 4 kali, alasannya suntikan pertama
tidak berpengaruh, jadi harus disuntik lagi. Usai menjalani operasi, dia
merasakan sakit dibagian pergelangan tangan bekas suntikan. Saat menanyakan hal
itu kepada perawat, TN diminta untuk mengompresnya dengan boorwater atau cairan
pendingin. Padahal cairan kompres itu sudah tidak dijual lagi di apotek sejak
tahun 1999 karena memang pada bagian luar membuat dingin, tapi bisa merusak
bagian jaringan di dalamnya. Semakin hari pergelangan tangannya semakin parah
hingga pada Selasa dokter menyarankan agar jari telunjuk dan ibu jari tangan
sebelah kanannya harus segera diamputasi. Sebab jaringan dalam pergelangan
tangannya sudah mati. Karena merasa terdapat keganjilan, TN pun melaporkan
kasus tersebut ke BPSK dengan didampingi Ketua YLKI Firman Turmantara (https://jabar.antaranews.com/berita/62448/seorang-wanita-datangi-bpsk-laporkan-dugaan-malpraktek).
Permasalahan malpraktek di
Indonesia dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan)
dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Jalur litigasi melalui jalur perdata
atau pidana.. Jalur non litigasi dengan mengadukan kasusnya melalui Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Namun apabila suatu kasus
diduga malpraktek medik diadukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran
hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang
pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang-Undang tentang Praktek
Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan
perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert
witness testimonum) apabila diperlukan sebagaimana lazimnya juga di luar
negeri (Ari Yunanto dan Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktik Medik,
CV.Andi, Yogyakarta, h. 87).
Untuk mengatasi kerumitan
proses peradilan, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen memberi jalan
alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pasal 45
ayat (4) mengatur, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen
diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya
itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa. Ini berarti penyelesaian pengadilan pun tetap terbuka setelah para
pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.
Tafsir yang lebih jauh dari ketentuan
pasal tersebut, bahwa : (1) penyelesaian di luar pengadilan merupakan upaya
perdamaian diantara pihak yang bersengketa dan (2) penyelesaian di luar
pengadilan dapat dilakukan melalui suatu badan independen seperti Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika penyelesaian melalui BPSK maka
salah satu pihak tidak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan, sebelum
BPSK menjatuhkan putusan. Artinya bahwa mereka terikat untuk menempuh proses
penyelesaian sampai saat penjatuhan putusan.
Salah satu pasal dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 23, menjelaskan bahwa
apabila pelaku usaha menolak dan atau tidak memberikan tanggapan dan atau tidak
memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan
hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau dengan cara
mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Di sini
terlihat bahwa UUPK memberikan alternatif penyelesaian melalui BPSK serta
melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melalui tempat kedudukan
konsumen (Ni Luh).
1. Dasar Hukum BPSK
Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bab XI pasal 49
sampai dengan pasal 58. Pada pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan
peradilan kecil (small claim court) yang melakukan persidangan dengan
menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai
dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam
waktu maksimal 21 hari kerja ( lihat pasal 55 UU. No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ), dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama
proses pelaksanaan keputusan ( lihat pasal 56 dan 58 UU. No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ), sederhana karena proses penyelesaiannya dapat
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang
dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan. Keanggotaan BPSK
terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, yang masing-masing
unsur diwakili oleh 3-5 orang, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
(Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5)).
2. Tugas dan wewenang
Tugas dan wewenang BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 52
meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak
tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi,
saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap
undang-undang ini;
h. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi
panggilan BPSK;
i.
mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
j.
memutuskan dan
menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
k. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
l.
menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang
ini.
Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang
tersebut, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI telah
mengeluarkan SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara Konsiliasi
atau Mediasi atau Arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan
para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa
secara berjenjang (Pasal 4). Metode penyelesaian kasus sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha ada tiga yaitu konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
3. Prosedur
Prosedurnya cukup sederhana. Konsumen yang bersengketa
dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi di mana mereka berada
dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan
juga berkas-berkas/dokumen yang mendukung pengaduannya .
Pihak-pihak yang berperkara di
BPSK tidak dikenai biaya perkara alias gratis. Sementara biaya operasional BPSK
ditanggung APBD. Selain bebas biaya, prosedur pengaduan konsumen pun cukup
mudah, yaitu hanya membawa barang bukti atau bukti pembelian/pembayaran, dan
kartu identitas (KTP). Formulir pengaduan disediakan di sekretariat BPSK. Pihak
BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna
dipertemukan dalam Prasidang.
Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:
Dari Prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain:
a. Konsiliasi:
usaha perdamaian antara dua pihak. Metode konsiliasi ditempuh jika pihak
konsumen dan pengusaha bersedia melakukan musyawarah untuk mencari titik temu
dengan disaksikan majelis hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK
bersikap pasif.
b. Mediasi:
negosiasi yang dimediasi oleh BPSK. Kedua belah pihak melakukan musyawarah
dengan keikutsertaan aktif majelis hakim BPSK, termasuk memberikan penetapan.
c. Arbitrase:
kedua belah pihak menyerahkan sepenuhnya kepada arbiter. Konsumen akan memilih
salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula
pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada.
Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah
dalam BPSK.
4. Penyelesaian
Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan
yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No.
350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal. Proses dikeluarkannya putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dilakukan dengan tahapan, yaitu :
a.
Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat;
b. Maksimal
jika hal itu telah diusahakan (dengan Sunguh-sunguh), ternyata tidak tercapai
mufakat, maka putusan dilakukan dengan cara Voting/suara
terbanyak.
Amar`putusan
Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK)
terbatas
pada 3 alternatif, yaitu :
a.
Perdamaian;
b. Gugatan
ditolak;
c. Gugatan dikabulkan.
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan
ganti rugi dan atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling
banyak Rp 200.000.000,00 (Pasal 40)
Menurut ketentuan pasal 56 ayat (2) UUPK,
para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Hal ini karena di dalam pasal 41 ayat (2) SK
Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa konsumen dan pelaku
usaha yang bersengeketa wajib menyatakan menerima atau menolak Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dengan demikian jika para pihak menolak
hasil dari putusan, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Negeri.
Dalam hal pelaku usaha menerima (menyetujui
atau sependapat) diktum (amar, isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), maka ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika pelaku usaha tidak menggunakan
upaya keberatan atau upaya hukum, maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) menjadi berkekuatan tetap. Dengan begitu, jika tidak
dilaksanakannya putusan tersebut, apalagi setelah diajukan Fiat eksekusi berdasarkan Pasal 57
UUPK,
maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen
(Taufik Yahya, 2014, Peran Penting
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Rangka Perlindungan Hak-Hak Konsumen)
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Eksistensi dari lembaga BPSK. Pertama,
pertanyaan mendasar adalah apakah BPSK merupakan lembaga yang masuk dalam
domain pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Jawaban terhadap hal ini dalam
prakteknya tidak sarna. Oleh karena itu, ada BPSK yang mendapat dukungan penuh
dari pemerintah daerah dan ada BPSK yang kurang mendapat dukungan Pemerintah
Daerah. Kedua, persoalan yang krusial adalah menyangkut tugas dan
kewenangan BPSK. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putusan BPSK bersifat “final
dan mengikat”. Putusan ini menjadi kehilangan makna dan menjadi tidak berarti
bagi konsumen yang mencari keadilan melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan ketentuan
Pasal 56 ayat (2) dimana terbukanya peluang mengajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri, dan ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai permintaan eksekusi putusan BPSK
kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Meskipun secara formil BPSK sudah didirikan
di beberapa wilayah, tetapi ternyata hingga kini yang aktif hanya ada di 8
kota, yaltu Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,
Makassar, dan Malang. Berdasarkan hal tersebut, maka hal ini menjadi indikasi
lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan hukum perlindungan konsumen.
Keberadaan BPSK di setiap kota dan/atau kabupaten merupakan amanat perundang-undangan.
Konsumen yang berada di daerah kota dan/atau kabupaten akan mangalami kesulitan
untuk meminta perlindungan hak-hak sebagal konsumen karena tidak adanya BPSK.
Walaupun sebenamya melalui pengadilan negeri sengketa konsumen dapat diselesaikan.
Akan tetapi pada umumnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan membutuhkan
biaya yang besar dan waktu yang cukup lama.
B.
SARAN
Melihat beberapa persoalan
yang ada dalam UUPK, penulis menyarankan agar UUPK dilakukan revisi agar
kedepan lebih memberikan kepastian hukum pada konsumen maupun pelaku usaha.
Pemeintah hendaknya memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) pada sekretariat BPSK mengingat
tugas-tugas dari BPSK yang begitu luas. Di samping itu pemerintah juga
hendaknya memberikan anggaran yang cukup pada BPSK karena salah satu kendala
pelaksanaan tugas BPSK adalah karena faktor anggaran. Selain itu seiring
perkembangan teknologi medis diharapkan pula dapat dibentuknya suatu peraturan
hukum yang komprehensif yang khusus mengatur mengenai hukum kesehatan ini,
sehingga diharapkan masyarakat pun lebih dapat memahami hak-hak yang mereka
miliki sebagai pasien yang menggunakan jasa pelayan kesehatan dan juga sebagai
pedoman bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga
kesehatan agar dapat meminimalisir terjadinya kasus-kasus kelalaian medik dan
malpraktek di Indonesia. Diharapkan juga
terjadi harmonisasi antara peraturan hukum pidana dan perdata dengan kode etik
tenaga kesehatan sehingga dalam penyelesaian sengketa kasus malpraktek tidak
terjadi kerancuan dalam proses penyelesaian suatu kasus malpraktek melainkan
dapat saling melengkapi sehingga kasus malpraktek dapat terselesaikan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo,
Jakarta, 2000.
_______, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Jakarta: Grasindo, 2006.
Wila Chandrawila Supriadi,
Hukum Kedokteran, Mandar Maju,Ctk Pertama, Bandung, 2001
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Artikel, Majalah, Website
adan Pusat Statistik. 2014. Anggaran Pendapatan
Negara. Jakarta. Di akses dari www.bps.go.id pada tanggal 30 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar