Minggu, 29 April 2018

HUKUM KESEHATAN DAN HAM MENANGGAPI UU 23/2004 PKDRT



TUGAS
HUKUM KESEHATAN DAN HAM
MENANGGAPI UU 23/2004 PKDRT (Peraturan Kekerasan dalam Rumah Tangga)
Dosen pengampu : Prof. Dr. Agnes Widanti, SH,CN








DISUSUN OLEH :
TIAZH OKTAVIANI                        17.C2.0020




PROGRAM PASCA SARJANA HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2017


Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) : Penanganan kasus KDRT

Oleh : Tiazh oktaviani


Maraknya permasalahan yang terjadi terhadap perempuan dan anak yang cenderung meningkat dari waktu-ke waktu di indonesia, potensi yang sangat besar pada penduduk perempuan yang jumlahnya mencapai (49,59%) disini juga potensi permasalahan yang cukup besar yang melanda perempuan.
Dalam hal ini pemerintah juga turut andil untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan salah satu contoh nya dengan adanya program TREE ENDS yakni End Violence Against Women and Children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak) End Human Trafficking (akhiri perdagangan manusia) dan End Barriers To Economic Justice (akhiri kesenjangan Ekonomi).
Berdasarkan data Badan Statistik Tahun 2016 jumlah penduduk 34.019.095 orang, perempuan 16.871.192 (49,59%) dan laki-laki 17.147.901 (50.41%) jumlah penduduk perempuan yang besar dapat menumbulkan persoalan yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah dan berimbas pada penambahan beban persoalan pemerintah. Sebaiknya apabila jumlah perempuan tersebut dapat berdaya dan mandiri, maka akan membantu pemerintah mengurangi beban persoalan.
Kasus kekerasan dan perdagangan orang dari 35 kabupaten/kota di jawa tengah dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut : tahun 2012 : 2.883 kasus, tahun 2013 : 2.184 kasus, 2014 : 2,642 kasus tahun 2015 : 2,466 kasus tahun 2016 : 2,531 kasus, TW II tahun 2017 : 643 kasus (korban anak sebesar (50,86%). Data kasus kekerasan tersebut yang dilaporkan ke PPT atau P2TP2A di web DP3AKB Provinsi jawa tengah
Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; Kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh belahan dunia, dalam semua tingkat sosio-ekonomi dan pendidikan. Tanpa memandang budaya dan agama. Kekerasan terhadap perempuan ini memiliki banyak bentuk, mulai dari kekerasan domestik dan perkosaan hingga pernikahan di usia muda dan penyunatan. Semua kekerasan yang terjadi itu merupakan pelanggaran atas hak manusia yang paling asasi. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, berakar dari adanya budaya patriarki.
Budaya patriarki yang melihat garis keturunan dari ayah, secara tidak langsung membuat timbulnya pemikiran bahwa perempuan mempunyai posisi yang lebih rendah daripada laki-laki (subordinat).
Perempuan dianggap sebagai mahluk lemah yang tidak mampu untuk melakukan apapun, dilecehkan, dikucilkan dan dikesampingkan, serta tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya. Perempuan sering disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi di keluarganya, di rumah tangganya. Perempuan pun pasrah apabila mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya dan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh suaminya, karena memang ia yang menyebabkan semua itu terjadi. Perempuan selalu dituntut untuk meladeni apapun yang suaminya inginkan. Sementara laki-laki dianggap sebaliknya, yakni sebagai mahluk yang kuat, dapat melakukan apapun dan sebagainya. Budaya patriarki ini pun menyebabkan timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
Kekerasan terhadap Perempuan Definisi kekerasan terhadap Perempuan yang diakui secara internasional adalah yang tercantum dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Deklarasi ini merupakan instrumen hak asasi manusia internasional pertama yang secara eksklusif dan eksplisit menekankan pada isu kekerasan terhadap perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan dicantumkan pada pasal 1, yang berbunyi, “Setiap tindakan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi”.
Salah satu tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang diidentifikasi dalam pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yakni di dalam keluarga atau rumah tangga. Bentuk kekerasan yang dicantumkan adalah kekerasan fisik, seksual dan psikis,
termasuk pertengkaran; penganiayaan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga; kekerasan terkait mas kawin; pemerkosaan dalam perkawinan; penyunatan perempuan dan praktik tradisional lainnya yang menyakiti perempuan; kekerasan dari nonpasangan; dan kekerasan terkait eksploitasi.
Kekerasan yang terjadi di dalam keluarga atau rumah tangga ini, dikenal dengan istilah
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam rumah tangga terjadi di semua  negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Selama ini, orang selalu  menganggap bahwa kasus KDRT sebagai masalah pribadi/keluarga yang tidak bisa dicampuri
oleh orang lain, padahal masalah pribadi/keluarga tersebut memiliki kecenderungan untuk  menjadi sebuah tragedi di masyarakat.
Penanganan kasus KDRT sebenarnya kasus KDRT sering terjadi di masyarakat, namun tidak banyak korban, yang kebanyakan adalah perempuan, mempunyai keberanian untuk melaporkannya kepada pihak berwenang. Korban sering merasa takut, karena apabila mereka melaporkan peristiwa tersebut, biasanya pelaku akan marah dan berpotensi untuk melakukan kekerasan lagi. Lagipula, dengan melaporkan peristiwa itu, berarti membuka aib keluarga sendiri.
Sementara korban yang melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya, seringkali tidak
mendapatkan keadilan. Pelaku yang dilaporkan hanya dikenai pasal mengenai penganiayaan, yang tercantum dalam Bab XX. Penganiayaan, yakni pasal 351 - 358 KUHP. Pasal yang tercantum dalam KUHP ini tidak mengenal istilah kekerasan pada istri atau anggota keluarga lainnya. Penggunaan pasal penganiayaan dalam setiap laporan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi tidak menjamin bahwa kasusnya akan ditindaklanjuti. Pihak kepolisian seringkali mengalami kesulitan untuk memenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan tidak lagi ditindaklanjuti.
Terobosan hukum : UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada tahun 2004, pemerintah RI mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU ini mendapatkan sambutan yang hangat dari berbagai pihak, khususnya gerakan hak perempuan, karena KDRT merupakan salah satu persoalan yang mendapat perhatian serius dari mereka.
UU ini menyatakan dengan tegas bahwa tindakan kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga sebagai sebuah tindakan
pidana. UU ini juga melindungi hak perempuan untuk bebas dari marital rape atau pemerkosaan dalam perkawinan, mengatur sanksi yang salah satunya berupa konseling, hukum acara sendiri (beda dengan KUHAP), dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan segera bagi korban yang melapor. Selain itu, juga mencantumkan alat bukti yang dianggap memiliki kekuatan hukum, yakni laporan tertulis hasil pemeriksaan korban atau visum et repertum (surat keterangan medis) dan diakuinya keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan alat bukti sah lainnya. Korban pun dapat melaporkan secara langsung kekerasan yang dialaminya di tempat ia tinggal maupun di tempat kejadian perkara. UU ini juga mengatur tentang pengidentifikasian aktor-aktor yang memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.
Dalam Catatan Tahunan 2008, Komnas Perempuan mencatat bahwa semenjak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kasus yang dilaporkan ke lembaga pengada layanan dan aparat penegak hukum semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hukum juga catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007, “10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Jender”, 7 Maret 2008, semakin meningkat. Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan sejak tahun 2001 – 2007 menunjukkan peningkatan sebanyak 5 kali lipat. Sebelum disahkannya UU PKDRT, yaitu dalam rentang waktu 2001 – 2004, jumlah yang dilaporkan sebanyak 30.130 kasus. Sementara setelah UU PKDRT, selama tahun 2005 – 2007, tercatat sebanyak 68.425 kasus yang dilaporkan.
Namun, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya, tidaklah serta merta didukung dengan upaya tindak lanjut atau penanganan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu pihak kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Pihak kepolisian masih belum menggunakan UU PKDRT dalam pengenaan pasal kepada pelaku dan proses penyidikan yang dilakukan pun memakan waktu yang lama. Seringkali perkara yang sudah dilimpahkan oleh pihak kepolisian kepada kejaksaan, dikembalikan lagi kepada pihak kepolisian dengan alasan kurang bukti. Pihak kejaksaan belum cukup memiliki pemahaman yang kuat dalam menangani perkara KDRT dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim pun seringkali ringan, dimana hal ini tidak memenuhi rasa keadilan yang diinginkan oleh korban.
UU PKDRT memang merupakan angin segar bagi dunia hukum di Indonesia, namun sayang sekali aparat penegak hukum belum menggunakan UU ini secara maksimal. Apabila segenap pihak terkait dapat menerapkan UU ini dengan sebaik-baiknya, maka kasus kekerasan dalam rumah tangga pun dapat terselesaikan dengan memberi rasa keadilan bagi korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar