TUGAS
HUKUM
KESEHATAN DAN HAM
MENANGGAPI
UU 23/2004 PKDRT (Peraturan Kekerasan dalam Rumah Tangga)
Dosen
pengampu : Prof. Dr. Agnes Widanti, SH,CN

DISUSUN
OLEH :
TIAZH
OKTAVIANI 17.C2.0020
PROGRAM PASCA
SARJANA HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK
SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2017
Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) : Penanganan kasus KDRT
Oleh : Tiazh oktaviani
Maraknya permasalahan yang terjadi terhadap perempuan
dan anak yang cenderung meningkat dari waktu-ke waktu di indonesia, potensi
yang sangat besar pada penduduk perempuan yang jumlahnya mencapai (49,59%)
disini juga potensi permasalahan yang cukup besar yang melanda perempuan.
Dalam hal ini pemerintah juga turut andil untuk
menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan salah satu contoh nya dengan
adanya program TREE ENDS yakni End Violence Against Women and Children (akhiri
kekerasan terhadap perempuan dan anak) End Human Trafficking (akhiri
perdagangan manusia) dan End Barriers To Economic Justice (akhiri kesenjangan
Ekonomi).
Berdasarkan data Badan Statistik Tahun 2016 jumlah
penduduk 34.019.095 orang, perempuan 16.871.192 (49,59%) dan laki-laki 17.147.901
(50.41%) jumlah penduduk perempuan yang besar dapat menumbulkan persoalan yang
perlu mendapatkan perhatian pemerintah dan berimbas pada penambahan beban
persoalan pemerintah. Sebaiknya apabila jumlah perempuan tersebut dapat berdaya
dan mandiri, maka akan membantu pemerintah mengurangi beban persoalan.
Kasus kekerasan dan perdagangan orang dari 35
kabupaten/kota di jawa tengah dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut :
tahun 2012 : 2.883 kasus, tahun 2013 : 2.184 kasus, 2014 : 2,642 kasus tahun
2015 : 2,466 kasus tahun 2016 : 2,531 kasus, TW II tahun 2017 : 643 kasus
(korban anak sebesar (50,86%). Data kasus kekerasan tersebut yang dilaporkan ke
PPT atau P2TP2A di web DP3AKB Provinsi jawa tengah
Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; Kekerasan
terhadap perempuan terjadi di seluruh belahan dunia, dalam semua tingkat
sosio-ekonomi dan pendidikan. Tanpa memandang budaya dan agama. Kekerasan
terhadap perempuan ini memiliki banyak bentuk, mulai dari kekerasan domestik
dan perkosaan hingga pernikahan di usia muda dan penyunatan. Semua kekerasan
yang terjadi itu merupakan pelanggaran atas hak manusia yang paling asasi.
Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan Faktor penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, berakar dari adanya budaya patriarki.
Budaya patriarki yang melihat garis keturunan dari
ayah, secara tidak langsung membuat timbulnya pemikiran bahwa perempuan
mempunyai posisi yang lebih rendah daripada laki-laki (subordinat).
Perempuan dianggap sebagai mahluk lemah yang tidak
mampu untuk melakukan apapun, dilecehkan, dikucilkan dan dikesampingkan, serta
tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya. Perempuan
sering disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi di keluarganya, di
rumah tangganya. Perempuan pun pasrah apabila mendapat perlakuan yang kasar
dari suaminya dan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh
suaminya, karena memang ia yang menyebabkan semua itu terjadi. Perempuan selalu
dituntut untuk meladeni apapun yang suaminya inginkan. Sementara laki-laki
dianggap sebaliknya, yakni sebagai mahluk yang kuat, dapat melakukan apapun dan
sebagainya. Budaya patriarki ini pun menyebabkan timpangnya relasi kuasa antara
laki-laki dan perempuan.
Kekerasan terhadap Perempuan Definisi kekerasan
terhadap Perempuan yang diakui secara internasional adalah yang tercantum dalam
Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Deklarasi ini merupakan
instrumen hak asasi manusia internasional pertama yang secara eksklusif dan
eksplisit menekankan pada isu kekerasan terhadap perempuan. Definisi kekerasan
terhadap perempuan dicantumkan pada pasal 1, yang berbunyi, “Setiap tindakan
berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis,
termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan
pribadi”.
Salah satu tempat terjadinya kekerasan terhadap
perempuan yang diidentifikasi dalam pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan yakni di dalam keluarga atau rumah tangga. Bentuk kekerasan
yang dicantumkan adalah kekerasan fisik, seksual dan psikis,
termasuk
pertengkaran; penganiayaan seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga;
kekerasan terkait mas kawin; pemerkosaan dalam perkawinan; penyunatan perempuan
dan praktik tradisional lainnya yang menyakiti perempuan; kekerasan dari nonpasangan;
dan kekerasan terkait eksploitasi.
Kekerasan yang terjadi di dalam keluarga atau rumah
tangga ini, dikenal dengan istilah
kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam rumah tangga terjadi di semua negara, baik itu negara maju maupun negara
berkembang. Selama ini, orang selalu menganggap
bahwa kasus KDRT sebagai masalah pribadi/keluarga yang tidak bisa dicampuri
oleh orang
lain, padahal masalah pribadi/keluarga tersebut memiliki kecenderungan untuk menjadi sebuah tragedi di masyarakat.
Penanganan kasus KDRT sebenarnya kasus KDRT sering
terjadi di masyarakat, namun tidak banyak korban, yang kebanyakan adalah
perempuan, mempunyai keberanian untuk melaporkannya kepada pihak berwenang.
Korban sering merasa takut, karena apabila mereka melaporkan peristiwa
tersebut, biasanya pelaku akan marah dan berpotensi untuk melakukan kekerasan
lagi. Lagipula, dengan melaporkan peristiwa itu, berarti membuka aib keluarga
sendiri.
Sementara korban yang melaporkan kekerasan yang
menimpa dirinya, seringkali tidak
mendapatkan
keadilan. Pelaku yang dilaporkan hanya dikenai pasal mengenai penganiayaan,
yang tercantum dalam Bab XX. Penganiayaan, yakni pasal 351 - 358 KUHP. Pasal
yang tercantum dalam KUHP ini tidak mengenal istilah kekerasan pada istri atau
anggota keluarga lainnya. Penggunaan pasal penganiayaan dalam setiap laporan
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi tidak menjamin bahwa kasusnya akan
ditindaklanjuti. Pihak kepolisian seringkali mengalami kesulitan untuk memenuhi
unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan tidak lagi
ditindaklanjuti.
Terobosan hukum : UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada tahun 2004, pemerintah RI
mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. UU ini mendapatkan sambutan yang hangat dari berbagai pihak, khususnya
gerakan hak perempuan, karena KDRT merupakan salah satu persoalan yang mendapat
perhatian serius dari mereka.
UU ini menyatakan dengan tegas bahwa tindakan
kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi yang dilakukan di
dalam lingkup rumah tangga sebagai sebuah tindakan
pidana. UU
ini juga melindungi hak perempuan untuk bebas dari marital rape atau
pemerkosaan dalam perkawinan, mengatur sanksi yang salah satunya berupa
konseling, hukum acara sendiri (beda dengan KUHAP), dan kewajiban negara untuk
memberikan perlindungan segera bagi korban yang melapor. Selain itu, juga
mencantumkan alat bukti yang dianggap memiliki kekuatan hukum, yakni laporan
tertulis hasil pemeriksaan korban atau visum et repertum (surat keterangan
medis) dan diakuinya keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat
bukti yang sah apabila disertai dengan alat bukti sah lainnya. Korban pun dapat
melaporkan secara langsung kekerasan yang dialaminya di tempat ia tinggal
maupun di tempat kejadian perkara. UU ini juga mengatur tentang pengidentifikasian
aktor-aktor yang memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.
Dalam Catatan Tahunan 2008, Komnas Perempuan mencatat
bahwa semenjak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kasus yang dilaporkan ke lembaga pengada layanan
dan aparat penegak hukum semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran
masyarakat akan hukum juga catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan
2007, “10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan
dan Diskriminasi Berbasis Jender”, 7 Maret 2008, semakin meningkat. Catatan
Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan sejak tahun 2001 – 2007
menunjukkan peningkatan sebanyak 5 kali lipat. Sebelum disahkannya UU PKDRT,
yaitu dalam rentang waktu 2001 – 2004, jumlah yang dilaporkan sebanyak 30.130
kasus. Sementara setelah UU PKDRT, selama tahun 2005 – 2007, tercatat sebanyak
68.425 kasus yang dilaporkan.
Namun, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
melaporkan kekerasan yang dialaminya, tidaklah serta merta didukung dengan
upaya tindak lanjut atau penanganan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
baik itu pihak kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Pihak kepolisian masih
belum menggunakan UU PKDRT dalam pengenaan pasal kepada pelaku dan proses
penyidikan yang dilakukan pun memakan waktu yang lama. Seringkali perkara yang
sudah dilimpahkan oleh pihak kepolisian kepada kejaksaan, dikembalikan lagi kepada
pihak kepolisian dengan alasan kurang bukti. Pihak kejaksaan belum cukup
memiliki pemahaman yang kuat dalam menangani perkara KDRT dan putusan yang
dijatuhkan oleh hakim pun seringkali ringan, dimana hal ini tidak memenuhi rasa
keadilan yang diinginkan oleh korban.
UU PKDRT memang merupakan angin segar bagi dunia hukum
di Indonesia, namun sayang sekali aparat penegak hukum belum menggunakan UU ini
secara maksimal. Apabila segenap pihak terkait dapat menerapkan UU ini dengan
sebaik-baiknya, maka kasus kekerasan dalam rumah tangga pun dapat terselesaikan
dengan memberi rasa keadilan bagi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar