Senin, 03 September 2018

HUKUM REKAM MEDIK DAN INFORMED CONSENT (SEJARAH INFORMED CONSENT)



TUGAS
HUKUM REKAM MEDIK DAN INFORMED CONSENT


DOSEN : Dr. dr. MC. Inge Hartini, M.Kes







Disusun oleh:
Tiazh Oktaviani                            17.C2.0020


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Informed Consent 
Pada saat ini kegiatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari aspek hukum yang melindungi pasien dari hal – hal yang tidak di inginkan akibat dari tindakan medis yang diterimanya. Seseorang dalam kondisi sakit akan pergi berobat ke dokter dan menyerahkan kepercayaannya kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya, karena dokter dan tenaga kesehatan dianggap lebih mengetahui tentang segala sesuatu menyangkut penyakit pasien.
Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan medik, dokter perlu memberikan informasi atau keterangan kepada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya.
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pasien sudah berkembang menjadi kritis terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepadanya dan menuntut hak-haknya sebagai pasien. Pada pelayanan medis di Indonesia terdapat adanya informed consent yang telah dikeluarkan oleh Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 disebut sebagai persetujuan tindakan medik adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Hal ini berlaku bagi para dokter, baik yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, dan praktik perorangan maupun praktik bersama.
Konteks pengembangan isi informed consent mempunyai kaitan langsung dengan informasi diagnosis (adequat information) dan wajib simpan rahasia kedokteran (medical secrecy). Sarana adequat information adalah pembuatan persetujuan atau penolakan tindakan medis oleh pasien, yang pelaksanaannya dilakukan setelah pasien memahami semua penjelasan dokter tentang kondisi kesehatannya.
Seringkali pemberian informed consent dianggap suatu yang merupakan kelengkapan formal yang rutin saja di rumah sakit. Padahal pasien mempunyai hak yang harus dihormati, diantaranya hak atas informasi, hak untuk memberikan pemahaman terhadap informed consent adalah hak informasi dan hak memberikan persetujuan. Dengan demikian pasien itu mempunyai hak otonomi sebagaimana disebutkan bahwa informed consent merupakan dasar hubungan antara klien dan profesional kesehatan yang didasari pada prinsip otonomi manusia yang paling fundamental.
Pada prinsipnya informed consent adalah proses, bukan hanya sekedar meminta pasien untuk menandatangani suatu formulir. Penandatanganan oleh pasien hanya merupakan suatu kelanjutan atau pengukuhan apa yang sebenarnya sudah disepakati sebelumnya antara dokter dan pasien.
Perbedaan antara pemberian informasi oleh dokter dan penerima (pengertian) oleh pasien, sehingga sangat mungkin terjadi informasi telah diberikan oleh dokter tetapi belum dimengerti atau dipahami oleh pasien karena informasi yang diberikan oleh dokter tidak lengkap. Dalam keadaan seperti ini, pasien belum informed dan dengan demikian informed consent dalam pengertian sebenarnya juga belum terwujud.
Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pasien lebih peduli pada komunikasi yang baik dengan dokternya. Dan ternyata sebagian besar error disebabkan oleh misinterpretasi atas komunikasi dengan dokter.Bila diperhatikan kasus–kasus gugatan malpraktik yang terjadi, hampir sebagian besar ketidak jelasan disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien,terutama hak atas informed consent.
2.      Tujuan
Menjelaskan Informed Consent dari sejarah awal berdirinya dan regulasi yang membahas dan bersinggungan langsung dengan [dokter dan tenaga kesehatn. Baik dari internasional dan nasional (Indonesia).





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.      Sejarah berdirinya Informed Consent 
a.       Internasional
Informed Consent lahir karena ada hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Hak untuk menerima yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat dapat terwujud[1]. Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu, sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut[2]. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk menunaikan hak-haknya. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga memunculkan doktrin informed consent. Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis.
Sejarah hukum tentang informed consent berjalan seiring dengan sejarah hukum tentang riset di bidang kedokteran[3]. Di Perancis walaupun Nuremberg code[4] acapkali dikatakan sebagai asal mulanya informed consent, namun yurisprudensi Perancis memastikan kebutuhan untuk memperoleh informed consent baru pada tahun 1920. Opini ini dipastikan oleh Mahkamah Agung Perancis pada 28 Januari 1942, bahwa semua dokter mempunyai kewajiban fundamental terhadap negara untuk memperoleh persetujuan dari pasien terlebih dahulu[5]
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal hak atas informasi yang kemudian menjadi “Informed Consent”. Penambahan istilah “consent” menjadi “Informed Consent” di dalam prakteknya harus melalui beberapa fase. Maka dikatakan bahwa Informed Consent itu adalah suatu “Comunication Process”. Appelbaum, et al menekankan “ ....consent as a process, not an event”. Meisel & Lorel Roth
Keputusan-keputusan pengadilan yang menyangkut masalah Equity sudah dimulai sejak abad ke-12 dan ke-13. Di dalam sejarahnya, hal ini berkaitan dengan masalah hubungan yang didasarkan atas suatu kepercayaan penuh pasien yang awam tentang kesehatan dengan dokternya yang dianggap profesi yang menguasai ilmunya dengan baik karena sudah ditempuh melalui jalur pendidikan. Maka, menjadi kewajiban dokter untuk memberi penjelasan kepada pasiennya, sehingga pasien bisa memutuskan atau mempertimbangkan suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sedangkan istilah “batery”, sering digunakan dengan istilah “assault”, sehingga menyatu menjadi “assault and batery”, (assault artinya serangan). “Assault and batery” termasuk tindakan yang bersifat kriminal, merupakan istilah kuno, namun masih dipergunakan dalam sistem Anglo Saxon sebagai arti pencederaan. Kasus “assault and batery” yang pertama sudah ditemukan pada tahun 1348
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.
b.      Indonesia
Konsep informed consent di zaman modern, telah mengalami suatu proses panjang sehingga menjadi doktrin yang mempunyai dasar legal. Konsep ini didasari oleh pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri. Sumber dasar doktrin ini berasal dari falsafah moral, sosial budaya dan politik, pengaruh falsafah moral menjadi pengaruh yang paling dominan.
Declaration of Lisbon (1981) dan Patient`s Bill of Right (American Hospital Association, 1972), menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berhubungan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Hukum diharapkan akan melindungi kepentingan hak. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan sebagai konsumen di Indonesia, dilindungi oleh hukum positip yaitu UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hak pasien selalu dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care).
Hak pasien yang pertama disebutkan dalam beberapa literatur adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak health care receiver antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut.
Persetujuan tindakan medik/ Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan. Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang : “sejarah hukum doktrin informed consent”.
2.      Definisi Informed Consent 
Secara harfiah  Informed Consent  merupakan padanan kata dari: Informed artinya telah diberikan penjelasan/informasi ,dan  Consent  artinya persetetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. “Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Persetujuan tindakan adalah kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter. Biasanya, klien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi. Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan tindakan itu sendiri.
Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis dan bedah spesifik adalah tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini didelegasikan kepada perawat di beberapa institusi dn tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi bagian dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan[6].
3.      Bentuk Informed Consent 
a.       Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari  isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus  emergency  sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara  pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan  keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan  tindakan medik terbaik menurut dokter.
b.      Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat  invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
4.      Prinsip  Informed Consent 
Prinsip doktrin informed consent adalah hak otonomi seorang pasien terhadap dirinya untuk memutuskan apa yang dikehendaki di dalam masalahpengobatan. Dalam Declaration of Lisbon(1981) dan Patients’s Bill of Right(American Hospital Association, 1972) pada intinya menyatakan bahwa”Pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berkaitan dengan dasar hak asasi manusia, sehingga informed consent dihubungkan dengan dua hak asasi manusia yaitu:
a.       Hak untuk menentukan nasibnya sendiri Disebut juga dengan The Right to Self Determination. Setelah tahap pemberian informasi tersebut maka berdasarkan informasi tersebut, pasien memberikan persetujuannya. Dalam hal ini persetujuan ini merupakan wujud dari hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989, pihak-pihak yang memberikan persetujuan adalah :
1)      Pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental;
2)      Orang tua atau wali bagi pasien yang belum dewasa;
3)      Wali atau curator bagi pasien yang dewasa yang berada dalam pengampuan;
4)      Orang tua atau wali atau curator bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental;
5)      Keluarga terdekat bagi pasien yang belum dewasa dan tidak mempunyai orang tua atau wali dan atau orang tua atau wali berhalangan.
Pasien tidak harus menyetujui tindakan medis yang ditawarkan oleh dokter, pasien mempunyai hak untuk menolaknya. Semua ini dikembalikan pada hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun penolakan pasien yang sering terjadi dikarenakan faktor tertentu seperti ketidakmampuan dalam biaya dan adanya rasa takut pasien terhadap tindakan medis tersebut. Menanggapi pasien yang menolak tindakan medis tersebut, dokter tidak boleh dan tidak mempunyai hak untuk memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini dokter harus menghormati hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
b.      Hak atas informasi Hal ini dapat disebut dengan The Right of Information. Dalam hal ini, pihak yang bertanggung jawab memberikan informasi mengenai pasien adalah dokter. Artinya bahwa dokter berkewajiban menyampaikan informasi medis kepada pasien baik diminta maupun tidak. Informasi yang harus diberikan dokter kepada pasien tersebut antara lain :
a)      Hasil Pemeriksaan atau DiagnosisYaitu pengenalan keadaan atau gejala-gejala penyakit. Diagnosa ini harus disusun berdasarkan keterangan dan keluhan yang disampaikan pasien mengenai penyakitnya pada dokter. Setelah itu pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
b)      Terapi, atau Cara-cara Pengobatan dan Alternatif LainSetelah dilakukan pemeriksaan, dokter akan menentukan terapi yang sesuai dengan keluhan penyakit pasien tersebut. Selain itu, dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
c)      RisikoRisiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Hal-hal yang dijadikan pedoman adalah sifat risiko, berat ringannya risiko, dan kapan risiko tersebut akan terjadi.Selain itu dokter juga harus menjelaskan risiko jika pasien menolak salah satu atau seluruh pengobatan yang ditawarkan oleh dokter.
d)     Penderitaan Sakit dan KetidaknyamananApabila dalam menjalani pengobatan, kemungkinan pasien akan mengalami suatu perasaan sakit atau perasaan yang lain.Untuk inilah dokter juga harus menjelaskan kemungkinan-kemungkinan tersebut kepada pasien.
e)      PrognosisMerupakan penjelasan atas jalannya penyakit agar pasien benar-benar mengetahui keadaan yang sebenarnya dan apa yang terjadi padanya. Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi,ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun.
f)       Keuntungan Pengobatan Pengobatan yang dianjurkan oleh dokter kepada pasien diharapkan agar terwujud kesembuhan atau setidaknya mengurangi rasa sakit pasien. Maka dari itu jalannya pengobatan tersebut harus memberikan keuntungan, sehingga pasien dapat menentukan tindakan medis apa yang akan dijalani.Penyampaian informasi pada pasien harus diberikan dengan bahasa yang dapat diterima, dipahami, dimengerti dan sejelas-jelasnya oleh pasien.
Pernyataan IDI tentang informed consentmengatakan bahwa informasi tentang tindakan medis harus dilakukan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta. Dalam hal ini tidak diperbolehkan menahan informasi kecuali dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien, dan dalam keadaan tersebut dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien diperlukan kehadiran seorang perawat atau tenaga medis yang lain sebagai saksi[7]
5.      Fungsi  Informed Consent 
Adami Chazawi (Ibid,39) mengemukakan informed consent berfungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki.
Bagi pasien,informed consent merupakan penghargaan terhadap hak haknya oleh doktrer dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Lebih lanjut Adami Chazawi mengemukakan bahwa informed consent pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat  yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar dan tidak menyimpang. Walaupun ada persetujuan semacam itu,apabila perlakuan medis dilakukan secara salah sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki,dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.
Informed consent dari asas hukum  perjanjian berfungsi sebaga pemenuhan asas konsensualisme,yang mengandung makna bahwa sejak tercapainya kesepakatan (consensus) diantara para pihak  mengenai pokok pokok isi perjanjian,maka perjanjian sudah terjadi.
Kedua belah pihak sudah terikat sejak tercapainya kesepakatan, untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut dan memperoleh hak haknya sesuai dengan perjanjian atau menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
a.       Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
b.      Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
6.      Informasi dalam Informed Consent 
Persetujuan tertulis dalam suatutindakan medis dibutuhkan saat:
a.       Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko  atau efek samping yang bermakna.
b.      Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
c.       Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
d.      Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian[8]
Informasi dalam informed Consent:
Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) No.290/Menkes/Per/III/2008 juga memberikan ketentuan bahwa dalam Penjelasan Tindakan Kedokteran sekurang-kurangnya mencakup :
a.       Diagnosis dan Tata Cara Tindakan Kedokteran;
b.      Tujuan Tindakan Kedokteran Yang Dilakukan;
c.       Alternatif Tindakan Lain dan Resikonya
d.      Resiko dan Komplikasi Yang Mungkin Terjadi
e.       Prognosis Terhadap Tindakan Yang Dilakukan;
f.       Perkiraan Biaya[9]
7.      Berlakunya Informed Consent 
Informed Consent memungkinkan pasien dan keluarga membuat keputusan berdasarkan informasi penuh tentang fakta. Persetujuan harus diperoleh dari seseorang yang dapat memahami penjelasan supaya mereka memahami benar keputusan yang mereka buat. Perawat harus selalu mengklarifikasi pemahaman pasien dan keluarga tentang informasi yang telah diberitahukan kepada mereka untuk memastikan bahwa persetujuan diberikan berdasarkan informasi yang sebenarnya.
Pasien yang menolak suatu tindakan perawatan atau tindakan medis lainnya harus diinformasikan tentang apapun konsekuensi bahayanya Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan diberikan oleh perawat, dokter maupun petugas medis lain yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan medis maupun perawatan.
Pasien berhak bertanya apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas, pasien berhak meminta pendapat ataupun penjelasan dari semua rencana tindakan yang akan dilakukan dan berhak menolak tindakan ataupun yang akan dilakukan terhadap dirinya. Peran perawat sangat besar dalam hal ini, perawat berperan sebagai advokat pasien, perawat memperkenalkan bahwa pasien dan dokter telah membicarakan resiko-resiko, keuntungan-keuntungan dan alternatif dari prosedur. Perawat profesional memanfaatkan ketrampilannya guna penyuluhan dan memberi penjelasan kepada pasien bila terjadi salah pengertian dan mendorong proses membuat persetujuan dari pasien. Proses harus berlangsung sebelum pasien mendapat obat sedatif.
Pasien mempunyai hak untuk menolak operasi, dan itu adalah wewenang pasien. Perawat mengemban tanggung jawab bahwa persetujuan merupakan persetujuan informasi. Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataannya, baik setuju maupun tidak setuju, syarat seorang pasien berhak memberikan pernyataan, adalah : pasien tersebut sudah dewasa : dewasa yang dimaksudkan disini adalah mereka yang telah dianggap bisa membuat keputusan secara rasional, yaitu umur lebih dari 21 tahun.
Pasien dalam keadaan sadar : pasien harus dapat diajak komunikasi secara wajar dan lancar jadi tidak sedang pingsan, coma atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan ataupun hal-hal lainnya. Pasien dalam keadaan sehat akal : sehat akal yang dimaksud adalah dalam keadaan sadar penuh tentang pikirannya atau tidak gila Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan member
ikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan yang akan akan dilakukan adalah pasien itu sendiri, apabila ia memenuhi tiga kriteria diatas. Bila dikarena suatu hal maka persetujuan tindakan bisa diwakilkan oleh wali keluarga atau wali hukumnya, bila pasien itu anak-anak maka orang tuanya, atau paman/ bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan bisa saja dilakukan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini tindakan yang dilakukan adalah tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Semua tindakan yang dilakukan tidak berarti kebal hukum karena bila tindakan itu tidak sesuai dengan standar pelayanan atau prosedur yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi maka pasien ataupun keluarga dapat mengaju-kan tuntutan hukum 
Pelaksanaan Informed consentdianggap benar bila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1) Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan diberikan untuk tindakan medis dan perawatan yang dinyatakan secaraspesifik, (2) Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan diberikan tanpa paksaan, (3) Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan yang berhak memberikannya dari segi hukum, (4) Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan diberikan setelah diberikan cukup informasi dan penjelasan yang diperlukan. Jadi intinya Informed consentadalah suatu ijin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan atau perawat dan yang sudah dimengertinya
8.      Pemberi Persetujuan Informed Consent 
Pada zaman yunani kuno para dokter mendapat konsen dari para pasien berasarkan tujuan murni therapetik. Hal tersesebut di latar belakangi suatu keyakinan bahwa seorang pasien akan sembuh lebih cepat apabila ia sendiri juga turut berpartisipasi dalampengobatannya (J. Brent, dalam buku informed consent karangan J. Guwandi)
Di zaman modern sekarang konsep informed consent memperoleh suatu dasar legal, oleh karena pengadilan semakin lama semakin kuat pengakuannya terhadap hak asasi seseorang dalam memutuskan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Informed Consent lahir dari transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik termasuk dalam inspanning verbintenis yaitu perjanjian di mana dokter akan berdaya upaya, berusaha, atau berikhtiyar semaksimal mungkin untuk meyembuhkan pasien. Ciri-ciri khusus transaksi terapeutik ada 3 (tiga) yaitu: pertama, subjeknya terdiri dari dokter sebagai pemberi pelayanan medik professional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan dan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Kedua, objeknya berupa upaya medik profesional yang bercirikan memberikan pertolongan. Ketiga, tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Fred Amin, 1991: 34).
Transaksi ini mengandung segi-segi perbuatan yang bersifat sebagai hukum kontrak dan menempatkan kesepakatan sebagai elemen utama yang melekat pada masing-masing pihak.
Subekti (1993: 15) menyatakan bahwa kesepakatan hakikatnya bukan hanya merupakan syarat melainkan keharusan, karena pada konsep falsafahnya kesepakatan mendasari perjanjian. Hal ini berarti bahwa kepentingan dasar dalam mengawali perjanjian dengan mengemukakan kesepakatan secara bebas dan rasional, sehingga tidak sekedar untuk menyepakati secara sepihak atau menyerahkan kesepakatan secara terpaksa. Hal tersebut berarti bahwa dengan adanya konsensualisme yang mengesampingkan kemungkinan adanya ketidakadilan akibat perbedaan pandangan dan pendapat mengenai aspek yang diperjanjikan, sehingga perjanjian tersebut dirasakan tidak adil bagi salah satu pihak[10]
Keberadaan keadilan dalam bentuk kesepakatan akan memberikan dasar kepada para pihak untuk membuat perjanjian sekaligus memberikan kekuatan hukum yang mengikat terhadap apa yang telah diperjanjikan (Subekti, 1993: 15). Sehubungan dengan hal di atas, keadilan berkontrak dalam Informed Consent terwujud di atas prasyarat-prasyarat 4 (empat) hal sebagai berikut: Pertama, penekanan utama terhadap kesepakatan secara bebas dan rasional dari negosiasi secara terbuka antara dokter dan pasien. Kedua, penekanan utama terhadap tujuan tindakan kedokteran sebagai basis kebenaran hubungan dokter dan pasien. Ketiga, penekanan utama terhadap kepastian hak dan kewajiban kontraktual yang mengandung konsekuensi tanggung gugat antara dokter dan pasien. Keempat, penekanan utama terhadap kedudukan berkeseimbangan antara dokter dengan pasien yang meliputi keseimbangan kehendak, keseimbangan kecakapan, dan keseimbangan informasi.
9.      Regulasi yang mengatur Informed Consent 
a.       Internasional
Amerika Serikat menganut sistem hukum Anglo Saxon memakai peradilan jury yang terbentuk dari kebiasaan (common law) yang berkembang dan menjadi luas pemakaiannya melalui keputusan-keputusan hakim (Yurisprudensi). Secara umum banyak prinsip-prinsip hukum yang diterapkan oleh pengadilan di Amerika berasal dari common law yang berkembang ke negara-negara lain. Hukum Inggris yang berbentuk common law, zaman colonial dahulu, diterapkan di Amerika. Hukum Inggris yang dipakai di Amerika Serikat sejak zaman Revolusi juga termasuk bagian dari sistem Hukum Amerika Serikat, kecuali di Louisiana, dan merupakan dasar bagi kebijakan dan tradisi sistem hukum Amerika, walaupun jurisprudensi pada sistem hukum Amerika Serikat tidak berganti. Setelah revolusi, ada negara bagian yang mengambil oper seluruhnya, namun ada juga negara yang menambah dan mengurangi sesuai situasi dan kondisi setempat. Konstitusi Amerika Serikat adalah yang membentuk sistem pemerintahan federal. Konstitusi memberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu kepada pemerintah federal (nasional). Semua kekuasaan lain yang tidak didelegasikan kepada pemerintah federal akan tetap dijalankan oleh negara- negara bagian. Setiap negara-negara bagian memiliki konstitusinya sendiri, struktur pemerintahan sendiri, kitab undang-undang sendiri, dan sistem pengadilan sendiri. Konstitusi Amerika Serikat juga membentuk cabang yudisial dari pemerintah federal dan merinci kekuasaan dari pengadilan federal. Jadi di Amerika, kini tidak ada suatu sistem common law yang bersifat nasional, sehingga common law mengenai hal tertentu bisa berbeda-beda. Terdapat pula statutory law yang juga mengadakan prinsip-prinsip yang tadinya dibuat oleh pengadilan berdasarkan common law. Tetapi dalam masalah perdata pada umumnya masih berdasarkan common law.
b.      Indonesia
Indonesia menganut sistem Eropa Continental sebagai bagian dari warisan kolonial Belanda yang berazaskan kodifikasi dalam arti semua hukum dihimpun di dalam buku peraturan perundang-undangan. Terdapat juga keputusan hakim terdahulu yang sering dikutif sebagai perbandingan (constante jurisprudentie), walaupun sifatnya tidak mengikat seperti di Negara dengan sistem Anglo Saxon. Dalam pelaksanaannya, hukum kesehatan mengadopsi kedua sistem hukum baik berasal dari Eropa Continental maupun dari sistem Anglo Saxon, dengan penggunaan yang lebih universal yang disesuaikan dengan segi sosial budaya, agama dan falsafah bangsa.  
Secara yuridis formal, perkembangan informed consent di Indonesia ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI Nomor 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Menteri Kesehatan  Nomor 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini bukan berarti dokter-dokter  dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Dengan adanya peraturan Peraturan menteri kesehatan No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Dalam hukum positif Indonesia, informed consent sangat jelas diamanahkan dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 ; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ; Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan ; Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit ; Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan ; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/per/III/2008 tentang Rekam Medis ; Peraturan Menteri kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran ; Peraturan Menteri Keehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran ; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
1)      Undang-undang Praktek Kedokteran Nomor 29 Tahun  2004
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes Nomor 585 Tahun 1989  juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut Undang-undang Praktek Kedokteran No 29 Tahun 2004 Pasal 39, praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter dengan pasien. Selanjutnya di pertegas pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Ayat (1) berbunyi “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”
Ayat (2) berbunyi “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”
Ayat (3) berbunyi “Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup”:
a)      diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b)     tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c)      alternatif tindakan lain dan risikonya;
d)      risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e)      prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Ayat (4) berbunyi “Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.”
Ayat (5) berbunyi “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.”
Ayat (6) berbunyi “Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri”
Kemudian di jelaskan pula pada Pasal 52 yaitu (a) pasien berhak mendapatkan penjelasan lengkap tentang tindakan medis (b) meminta pendapat (c) menolak tindakan medis.
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under curatele) persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Dalam hubungan dokter dan pasien, secara relatif pasien berada dalam posisi yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk membela kepentingannya yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan pasien pada masalah pengobatan, dalam situasi pelayanan kesehatan menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mempermasalahkan hak-hak pasien dalam menghadapi tindakan atau perlakuan dari para profesional kesehatan. Berdasarkan hak dasar manusia yang melandasi transaksi terapeutik (penyembuhan), setiap pasien bukan hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi ia juga terlebih dahulu berhak untuk mengetahui hal-hal mengenai dirinya. Pasien perlu diberi tahu tentang penyakitnya dan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian.
 Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, atau perjanjian yang bersifat khusus, karena dalam pelayanan kesehatan, dokter tidak bisa menjanjikan sesuatu dalam upaya penyembuhan seseorang, akan tetapi seorang dokter akan selalu berupaya semaksimal mungkin menurut standar pelayanan dan keilmuan tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut dalam upaya penyembuhan dan penyelamatan nyawa seseorang, karena setiap tindakan dalam pelayanan kesehatan mengandung resiko, maka dari itu informed concent lebih cendrung kearah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
2)      Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, istilah yang dipakai adalah “Persetujuan”. Pasal 56 dengan jelas menyebutkan hak utama pasien, yaitu, bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi. Jadi hak persetujuan atas dasar informasi (informed consent) merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Undang-Undang No. 36 tentang Kesehatan Pasal 56 tentang Perlindungan Pasien :
Ayat (1)Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”
Ayat (2)Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a)      penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b)       keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c)      gangguan mental berat.
Ayat (3) “Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
Persetujuan tentang tindakan dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat dalam beberapa pasal yaitu Pasal 44 tentang uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia, Pasal 65 tentang persetujuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, Pasal 75 tentang Aborsi, Pasal 119 tentang bedah mayat klinis, Pasal 120 tentang bedah mayat anatomis.
3)      Undang-undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, istilah yang dipakai adalah “Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan”. Pada Undang-Undang tersebut terdapat beberapa ketentuan terkait Informed Consent yang mencakup: pertama, mengatur tentang kewajiban tenaga kesehatan yang menjalankan praktik untuk memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan. Kedua, mengatur tentang persetujuan tindakan tenaga kesehatan. Ketiga, mengatur tentang Pelayanan kesehatan masyarakat program pemerintah yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan terdapat pada Pasal 68 ayat (1) sampai ayat (6) Undang-undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang diaman bunyi sebagai berikut :
Ayat (1) berbunyi “Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan”
Ayat (2) berbunyi “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut”
Ayat (3) berbunyi “Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a)      tata cara tindakan pelayanan;
b)     tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;
c)      alternatif tindakan lain;
d)     risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e)      prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Ayat (4) berbunyi “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis maupun lisan”
Ayat (5) berbunyi “Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan
Ayat (6) berbunyi “Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
4)      Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit terdapat beberapa ketentuan mengenai Informed Consent yang mencakup: pertama, mengatur tentang hak pasien dalam memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya. Kedua, mengatur tentang setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Ketiga, mengatur tentang Rahasia kedokteran yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara spesifik hal- hal yang mengatur informed consent pasien telah di amanatkan dalam pasal 32 huruf (k), yang dimana disebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak “memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya”.
5)      Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, istilah yang dipakai adalah “Persetujuan Tindakan Keperawatan”. Pada Undang-undang tersebut, terdapat dua ketentuan mengenai Informed Consent. Antara lain mencakup : pertama, mengatur tentang pemberian persetujuan atau penolakan klien terhadap tindakan keperawatan yang akan diterima, dan kedua mengatur persetujuan klien terhadap pengungkapan rahasia kesehatan. Secara spesifik hal-hal yang menjelaskan tentang informed consent terdapat pada pasal 37 huruf (e) yang berbunyi perawat dalam melakukan praktik keperawatan berkewajiban memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya. Selanjutnya pada pasal 38 huruf (d) berbunyi Dalam praktik keperawatan, Klien berhak memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya.
6)      Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/per/III/2008 tentang Rekam Medis
Berdasarkan PERMENKES RI No. 629/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam medik Pasal 12 dikatakan  bahwa  berkas  rekam  medic  adalah  milik  sarana  pelanayan  kesehatan  dan  isi  rekam  medik  adalah  milik  rekam  medik  . Bentuk  ringkasan  rekam  medic  dapat  diberikan, dicatat atau dicopy oleh  pasien atau orang  yang diberi kuasa  atau persetujuan tertulis pasien atau  keluarga  pasien  yang  berhak  untuk  itu.  Namun  boleh  tidaknya  pasien  mengetahui  isi  rekam medic tergantung kesanggupan pasien untuk mendengar informasi mengenai penyakit  yang dijelaskan oleh dokter yang merawatnya.
Menurut Permenkes tersebut data-data yang harus dimasukkan dalam Medical Record dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat jalan dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik di rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat dapat membuat rekam medis dengan data-data sebagai berikut:
a)        Pasien Rawat Jalan
Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam rekam medis sekurang-kurangnya antara lain:
(1)           Identitas Pasien
(2)           Tanggal dan waktu.
(3)           Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
(4)           Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
(5)           Diagnosis
(6)           Rencana penatalaksanaan
(7)           Pengobatan dan atau tindakan
(8)           Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
(9)           Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik.
(10)       Persetujuan tindakan bila perlu.
b)      Pasien Rawat Inap
Data pasien rawat inap yang harus  dimasukkan dalam rekam medis sekurang-kurangnya antara lain :
(1)           Identitas Pasien
(2)           Tanggal dan waktu.
(3)           Anamnesis (sekurang- kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
(4)           Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
(5)           Diagnosis
(6)           Rencana penatalaksanaan
(7)           Pengobatan dan atau tindakan
(8)           Persetujuan tindakan bila perlu
(9)           Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan
(10)       Ringkasan pulang (discharge summary)
(11)       Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan ksehatan.
(12)       Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
(13)       Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik
c)      Ruang Gawat Darurat
Data pasien gawat darurat  yang harus dimasukkan dalam rekam medis sekurang-kurangnya antara lain:
(1)         Identitas Pasien
(2)         Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan
(3)         Identitas pengantar pasien
(4)         Tanggal dan waktu.
(5)         Hasil Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
(6)         Hasil PemeriksaanFisik dan penunjang medis.
(7)         Diagnosis
(8)         Pengobatan dan/atau tindakan
(9)         Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut.
(10)     Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan.
(11)     Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain
(12)     Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
7)      Peraturan Menteri kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Sejak berlakunya PERMENKES NO. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,  sebelum dilakukan suatu tindakan kedokteran, dokter wajib memberikan informasi langsung  kepada pasien/keluarga terdekatnya baik diminta maupun tidak diminta. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan , setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :
Pasal 1 Ayat (1) “Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”
Ayat (2) “Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya”
Ayat (3) “Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien”
Ayat (4) “Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien”
Ayat  (5) “Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan”
Ayat (6) ”Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”
Ayat (7) “Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas”
Pasal 2 Ayat (1) “Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”
Ayat (2) “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan”Ayat (3) “Persetujuan
dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan”
Pasal 3 Ayat (1) “Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”
Ayat (2) “Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan”
Ayat (3)”Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu”
Ayat (4)Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju”
Ayat (5) “Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis”
8)      Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien
Dalam PERMENKES NO 69 Tahun 2014 tentang kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien di jelaskan tentang kewajiban rumah sakit dalam memberikan informasi terhadap pasien di jelaskan pada Pasal 14  yang berbunyi “Kewajiban Rumah Sakit memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf l terdiri atas:”
a)      informasi umum tentang Rumah Sakit; dan
b)      informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis kepada pasien.
Selanjutnya di pertegas dalam pasal 16 ayat (1) sampai (5) yang berbunyi :
Ayat (1) “Informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis kepada pasien sebagimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b meliputi:”
a)      pemberi pelayanan; \
b)      diagnosis dan tata cara tindakan medis;
c)       tujuan tindakan medis;
d)     alternatif tindakan;
e)      risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
f)       rehabilitatif;
g)      prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; dan
h)     perkiraan pembiayaan.
Ayat (2) “Selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Rumah Sakit wajib memberikan informasi dan meminta persetujuan kepada pasien untuk melibatkan pasien dalam penelitian kesehatan”.
Ayat (3) “Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan sejak pasien masuk ke Rumah Sakit, selama menerima pelayanan, hingga pasien meninggalkan Rumah Sakit”.
Ayat (4)”Penyampaian informasi yang berkaitan dengan pelayanan medis kepada pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dokter, Dokter Gigi atau Tenaga Kesehatan lain yang merawat pasien sesuai dengan kewenangannya.”
Ayat (5) “Informasi yang berkaitan dengan pembuatan keputusan atas tindakan medik dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”





























BAB III
KESIMPULAN  DAN SARAN

1.      Kesimpulan
Informed consent memang sangat diperlukan dan merupakan suatu keharusan bagi dokter dan pasien karena informed consent merupakan suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien untuk menentukan terapi pengobatan yang terbaik. Pelaksanaan informed consent dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.
informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
Pelaksanaan informed consent belum berjalan dengan baik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dimana dokter merasa telah memberikan informasi yang jelas kepada pasien, sementara pasien kurang paham atas informasi tersebut. Pasien karena keawaman mengenai hak dan kewajibannya dan kurangnya pengetahuan yang dimilikinya maka cenderung bersifat pasrah atas tindakan yang akan dilakukan kepadanya sehingga dengan begitu saja menandatangani persetujuan tersebut dan mengganggap itu hanya sekedar formalitas saja.


2.      Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan .
a.       Dokter diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan pasien yaitu perawatan yang informatif, manusiawi dan bermutu sesuai dengan standar profesi.
b.      Pasien agar lebih memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen jasa medis.
c.       Pemerintah hendaknya bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan dan membina serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap informed consent agar kelak tidak terjadi perselisihan.











DAFTAR PUSTAKA

J. Guwandi.  Informed Consent. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2004
Fred Amin. Kapita Selektea Hukum Kedokteran. Grafika Tama Jaya. Jakarta. 1991
R.H. WiwohoKeadilan Berkontrak. Jakarta: Penaku. Jakarta. 2017
Ratih Kusuma Wardhani. Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Tesis : Universitas Diponegoro. Semarang. 2009
Yuningsih, Yuyun dkk. 2006. Praktik Keperawatan Profesional Konsep & Perspektif, Ed.4. Jakarta: EGC
http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent diakses 01 Mei 2018 pukul 10:26 PM



[1] Mochtar K & Arief S, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, Hlm 49 
[2] E.Utrecht/M.Saleh D, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hlm 249 
[3] Munir Fuady, Sumpah Hipokrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm 58. 
[4] Tahun 1947: dokter nazi melakukan percobaan di nuremberg, jerman, untuk riset atrocitie pada tawanan perang. Hasil ini di nuremberg kode, pertama secara internasional mengakui kode etika riset ( prototipe untuk nanti kode etika). http://www.research.umn.edu/consent/mod1soc/ mod1sec4.html diakses 2 Mei 2018 jam 1.43 PM. 
[5] J. Guwandi, Informed consent Consent. FKUI. 2004, Hlm 2 
[6] Aiken dan Catalano, 1994, hlm. 104
[7] Permenkes Republik Indonesia Nomor 585 / Men.Kes / Per / IX / 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
[8] amril,1997
[9] Salim, 2006
[10] R.H. Wiwoho, 2017: 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar